prefix='og: https://ogp.me/ns# fb: https://graph.facebook.com/schema/og/ article: https://graph.facebook.com/schema/og/article'> Bara Konflik Papua dan Diplomasi 'Ultranasionalis' Indonesia - West Papua Ujung Panah

Bara Konflik Papua dan Diplomasi 'Ultranasionalis' Indonesia

Papua mesti dibangun harkat dan martabatnya, bukan cuma infrastrukturnya. (Dok. Victor Mambor/ULMWP)
Papua Ujung Papua - Untaian nada mengalun di Kantor Setara Institute siang itu. Pastor Neles Tebay terenyak mendengar Romo Benny Soesetyo melantunkan penggalan lagu Aku Papua. Mata sayu sang aktivis Papua seketika terbelalak, seakan ada sentakan kuat di batinnya.

Hitam kulit, keriting rambut
Aku Papua
Biar nanti langit terbelah
Aku Papua

“Lirik lagu dari Franky Sahilatua ini selalu menggelorakan semangat orang Papua. Mereka merasa harkat dan martabat mereka dibangkitkan," kata Benny, seolah menerjemahkan arti tatapan tajam Neles.

Seiring ucapan itu, perlahan binar di mata Neles padam, kembali ke tatapan nanarnya semula. Ia bercerita, sudah lama harkat dan martabat orang Papua tak ditinggikan.
“Terus terpuruk,” kata Koordinator Jaringan Damai Papua itu, pekan lalu.
Padahal, ujar Neles, harkat dan martabat jadi hal penting bagi orang Melanesia –ras yang mendiami negara-negara Pasifik Selatan seperti Papua Nugini, Fiji, Solomon, dan Vanuatu.

Neles mengatakan, kaum Melanesia –yang juga merupakan ras mayoritas di Papua– akan memperjuangkan martabat hingga titik nadir. Jika soal itu terusik, mereka akan mengamuk dan konflik jadi tak terhindarkan.

"Konflik di Papua terus membara dan siap membakar siapa saja. Pembangunan infrastruktur yang terus dijalankan Presiden Jokowi memang baik, tapi masalah martabat berbeda. Masalah martabat ini yang terus memicu konflik," ucap Neles.
Baca juga:Kunjungan Kelima Jokowi ke Papua

Merujuk pada penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), martabat merupakan kunci dari pemecahan konflik di Papua. Setidaknya, menurut Neles, ada empat masalah utama yang hingga kini masih mengusik martabat orang Papua.
Pertama, kegagalan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kerakyatan, dan infrastruktur pada masa lalu. Kedua, diskriminasi terhadap orang asli Papua.

Ketiga, kekerasan negara terhadap orang Papua hingga muncul pelanggaran hak asasi manusia. Keempat, perbedaan tafsir sejarah integrasi Papua ke Republik Indonesia.
Di tengah konflik yang tak jua usai, ujar Benny, buah-buah pemikiran untuk memisahkan diri dari Indonesia bertumbuh. Pasalnya, kaum Melanesia tidak akan mau martabatnya terus terinjak-injak.

Pada saat seperti ini, kata Benny, pemerintah seharusnya cermat dan menghindari tindakan represif kepada mereka yang mengusung aspirasi separatisme.
"Gus Dur (Abdurrahman Wahid) waktu menjabat presiden, mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua, bahkan mengizinkan bendera adat dikibarkan. Ketika masyarakat Papua identitasnya diangkat, maka mereka merasa dirinya bagian dari NKRI," kata Benny.
Namun sekarang, ujarnya, masalah makin rumit karena pemerintah terus melakukan tindakan represif. Kaum Melanesia dari negara lain pun akhirnya tak mau tinggal diam, sebab mereka tidak rela saudaranya menderita.

Kelompok pendukung pembebasan Papua menjamur, hingga akhirnya masalah Papua kini menjadi isu internasional.

Baca juga:Jokowi Diminta Terbuka soal Pelanggaran HAM di Papua
Untuk pertama kalinya setelah 47 tahun sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang menjadi dasar Indonesia menyatukan Papua ke dalam wilayahnya, Papua kembali menjadi sorotan dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, September lalu.

Persoalan di Papua digaungkan oleh enam kepala negara Pasifik, yaitu Kepulauan Solomon, Republik Vanuatu, Republik Nauru, Republik Kepulauan Marshall, Kerajaan Tonga, dan Tuvalu. Mereka mempertanyakan kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi mausia yang terus terjadi di Papua.


Deretan argumen dari kepala-kepala negara itu dibantah oleh Nara Masista Rakhmatia, diplomat dari Perwakilan Tinggi Republik Indonesia di PBB. Ia juga meminta Pasifik Selatan tak mencampuri masalah dalam negeri Indonesia.

Nara Masista Rakhmatia, diplomat Perwakilan Tinggi Republik Indonesia di PBB. (Dok. tabloid-wani.com)


Di Indonesia, nama sang diplomat, Nara, untuk sementara lantas lebih tenar daripada persoalan inti di Papua sendiri. Kemunculan perempuan muda yang mengarahkan jari telunjuknya kepada para kepala negara Pasifik Selatan membuat publik tercengang.

Bagi sebagian orang, tak peduli paham atau tidak masalah Papua, Nara bak idola baru.

Namun, ujar Benny, jangan disangka pidato Nara di PBB jadi tanda kemenangan Indonesia. Jauh dari itu.

Diplomasi ultranasionalis

Benny menyebut Indonesia menerapkan praktik diplomasi ultranasionalis –yang dapat berbalik menjadi kekalahan.

"Dengan diplomasi ultranasionalis, Indonesia menyepelekan, bahkan menghina martabat negara-negara Pasifik. Bayangkan, kepala negara dihadapkan dengan diplomat. Itu kesalahan besar dalam komunikasi, menganggap negara kecil tidak penting,” kata Benny.

Padahal, ujarnya, “Negara kecil, kalau tidak dihitung, bisa menjadi bahaya.”

Secara terpisah, sumber CNNIndonesia.com di Kementerian Luar Negeri pernah mengatakan bahwa pada forum multilateral, suatu negara bebas mengirim wakil tanpa memikirkan posisi.

Namun, menurut Benny, sikap Indonesia yang terkesan menginjak-injak martabat Melanesia dapat berakibat fatal.

"Orang Papua menganggap, dengan tampil (dan kemunculan isu Papua) di panggung internasional, kemerdekaan sudah dekat. Jadi hati-hati dengan dampak psikologisnya,” kata Benny.

“Dalam psikologis seperti itu, jika hati orang Papua tak bisa direbut, maka akan ada gerakan-gerakan besar anak muda seperti Poros Jakarta, Yogyakarta, Malang. Dulu Timor Timur (sebelum merdeka) juga pergerakannya seperti itu,” kata Benny.

Neles pun mengatakan, saat ini mulai tumbuh pergerakan pemuda Papua yang berdiam di luar Papua.

“Sudah ada di mana-mana. Sekarang masih belum mengkhawatirkan, tapi kalau tidak diambil hatinya, bisa saja (membesar),” tutur Neles.

Sebelum semuanya terlambat, Benny menyarankan pemerintah Indonesia untuk mengubah pendekatan diplomasinya ke arah persuasi.

“Ajak negara-negara Pasifik itu untuk melihat langsung bahwa Papua tanah damai itu bisa tercipta. Jangan defensif terus,” tutur Benny.

Dialog langsung dengan warga Papua pun harus segera digelar. Dialog mesti dilakukan dengan hati-hati agar tak timbul gesekan, dengan skema: memausiakan orang Papua.

Neles sendiri sudah menyusun skema dialog yang melibatkan orang asli Papua, pendatang di pulau itu, hingga instansi-instansi yang dalam berpartisipasi dalam pembahasan penyelesaian konflik.
Baca juga:'Jangan Lihat Papua dengan Logika Jawa'
Pemerintah juga harus memikirkan cara membangun kapasitas orang Papua dengan mendirikan lebih banyak lembaga pendidikan dan sarana kesehatan.

“Dengan pembangunan ekonomi tanpa penguatan orang Papua, orang Papua hanya akan jadi penonton. Di situ konflik akan lebih besar karena lagi-lagi martabat mereka direndahkan,” ucap Benny.

Benny masih berharap pemerintahan Jokowi dapat membawa perdamaian di Papua.

"Sudah saatnya pembangunan Papua bukan hanya dari sisi ekonomi, tapi harkat dan martabat. Sudah saatnya fajar menyingsing di tanah Papua yang damai, dan rakyatnya dapat dengan bangga mengatakan, 'Aku Papua,'" kata Benny.

Tanah Papua tanah yang kaya
surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah sebanyak madu
adalah harta harapan

Tanah Papua tanah leluhur
di sana aku lahir
Bersama angin bersama daun
aku dibesarkan

Hitam kulit, keriting rambut, aku Papua
Hitam kulit, keriting rambut, aku Papua

Biar nanti langit terbelah, aku Papua


Stay Connected

Copyright © West Papua Ujung Panah. Designed by OddThemes