Papua mesti dibangun harkat dan martabatnya, bukan cuma infrastrukturnya. (Dok. Victor Mambor/ULMWP) |
Papua Ujung Papua - Untaian nada mengalun di Kantor Setara Institute
siang itu. Pastor Neles Tebay terenyak mendengar Romo Benny Soesetyo
melantunkan penggalan lagu Aku Papua. Mata sayu sang aktivis Papua seketika
terbelalak, seakan ada sentakan kuat di batinnya.
Hitam kulit, keriting rambut
Aku Papua
Biar nanti langit terbelah
Aku Papua
“Lirik lagu dari Franky Sahilatua ini selalu
menggelorakan semangat orang Papua. Mereka merasa harkat dan martabat mereka
dibangkitkan," kata Benny, seolah menerjemahkan arti tatapan tajam Neles.
Seiring ucapan itu, perlahan binar di mata Neles
padam, kembali ke tatapan nanarnya semula. Ia bercerita, sudah lama harkat dan
martabat orang Papua tak ditinggikan.
“Terus terpuruk,” kata Koordinator Jaringan Damai
Papua itu, pekan lalu.
Padahal, ujar Neles, harkat dan martabat jadi hal
penting bagi orang Melanesia –ras yang mendiami negara-negara Pasifik Selatan
seperti Papua Nugini, Fiji, Solomon, dan Vanuatu.
Neles mengatakan, kaum Melanesia –yang juga
merupakan ras mayoritas di Papua– akan memperjuangkan martabat hingga titik
nadir. Jika soal itu terusik, mereka akan mengamuk dan konflik jadi tak
terhindarkan.
"Konflik di Papua terus membara dan siap
membakar siapa saja. Pembangunan infrastruktur yang terus dijalankan Presiden
Jokowi memang baik, tapi masalah martabat berbeda. Masalah martabat ini yang
terus memicu konflik," ucap Neles.
Baca juga:Kunjungan Kelima Jokowi ke Papua
Merujuk pada penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), martabat merupakan kunci dari pemecahan konflik di Papua.
Setidaknya, menurut Neles, ada empat masalah utama yang hingga kini masih
mengusik martabat orang Papua.
Pertama, kegagalan di bidang pendidikan, kesehatan,
ekonomi, kerakyatan, dan infrastruktur pada masa lalu. Kedua, diskriminasi
terhadap orang asli Papua.
Ketiga, kekerasan negara terhadap orang Papua hingga
muncul pelanggaran hak asasi manusia. Keempat, perbedaan tafsir sejarah
integrasi Papua ke Republik Indonesia.
Di tengah konflik yang tak jua usai, ujar Benny,
buah-buah pemikiran untuk memisahkan diri dari Indonesia bertumbuh. Pasalnya,
kaum Melanesia tidak akan mau martabatnya terus terinjak-injak.
Pada saat seperti ini, kata Benny, pemerintah
seharusnya cermat dan menghindari tindakan represif kepada mereka yang
mengusung aspirasi separatisme.
"Gus Dur (Abdurrahman Wahid) waktu menjabat
presiden, mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua, bahkan mengizinkan bendera
adat dikibarkan. Ketika masyarakat Papua identitasnya diangkat, maka mereka
merasa dirinya bagian dari NKRI," kata Benny.
Namun sekarang, ujarnya, masalah makin rumit karena
pemerintah terus melakukan tindakan represif. Kaum Melanesia dari negara lain
pun akhirnya tak mau tinggal diam, sebab mereka tidak rela saudaranya
menderita.
Kelompok pendukung pembebasan Papua menjamur, hingga
akhirnya masalah Papua kini menjadi isu internasional.
Baca juga:Jokowi Diminta Terbuka soal Pelanggaran
HAM di Papua
Untuk pertama kalinya setelah 47 tahun sejak
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang menjadi dasar Indonesia
menyatukan Papua ke dalam wilayahnya, Papua kembali menjadi sorotan dalam
Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, September lalu.
Persoalan di Papua digaungkan oleh enam kepala negara
Pasifik, yaitu Kepulauan Solomon, Republik Vanuatu, Republik Nauru, Republik
Kepulauan Marshall, Kerajaan Tonga, dan Tuvalu. Mereka mempertanyakan
kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi mausia yang terus terjadi di Papua.
Deretan argumen dari kepala-kepala negara itu
dibantah oleh Nara Masista Rakhmatia, diplomat dari Perwakilan Tinggi Republik
Indonesia di PBB. Ia juga meminta Pasifik Selatan tak mencampuri masalah dalam
negeri Indonesia.
Nara Masista Rakhmatia, diplomat Perwakilan Tinggi Republik Indonesia di PBB. (Dok. tabloid-wani.com) |
Di Indonesia, nama sang
diplomat, Nara, untuk sementara lantas lebih tenar daripada persoalan inti di
Papua sendiri. Kemunculan perempuan muda yang mengarahkan jari telunjuknya
kepada para kepala negara Pasifik Selatan membuat publik tercengang.
Bagi sebagian orang,
tak peduli paham atau tidak masalah Papua, Nara bak idola baru.
Namun, ujar Benny,
jangan disangka pidato Nara di PBB jadi tanda kemenangan Indonesia. Jauh dari
itu.
Diplomasi
ultranasionalis
Benny menyebut
Indonesia menerapkan praktik diplomasi ultranasionalis –yang dapat berbalik
menjadi kekalahan.
"Dengan diplomasi
ultranasionalis, Indonesia menyepelekan, bahkan menghina martabat negara-negara
Pasifik. Bayangkan, kepala negara dihadapkan dengan diplomat. Itu kesalahan
besar dalam komunikasi, menganggap negara kecil tidak penting,” kata Benny.
Padahal, ujarnya,
“Negara kecil, kalau tidak dihitung, bisa menjadi bahaya.”
Secara terpisah, sumber
CNNIndonesia.com di Kementerian Luar Negeri pernah mengatakan bahwa pada forum
multilateral, suatu negara bebas mengirim wakil tanpa memikirkan posisi.
Namun, menurut Benny,
sikap Indonesia yang terkesan menginjak-injak martabat Melanesia dapat
berakibat fatal.
"Orang Papua
menganggap, dengan tampil (dan kemunculan isu Papua) di panggung internasional,
kemerdekaan sudah dekat. Jadi hati-hati dengan dampak psikologisnya,” kata
Benny.
“Dalam psikologis
seperti itu, jika hati orang Papua tak bisa direbut, maka akan ada
gerakan-gerakan besar anak muda seperti Poros Jakarta, Yogyakarta, Malang. Dulu
Timor Timur (sebelum merdeka) juga pergerakannya seperti itu,” kata Benny.
Neles pun mengatakan,
saat ini mulai tumbuh pergerakan pemuda Papua yang berdiam di luar Papua.
“Sudah ada di
mana-mana. Sekarang masih belum mengkhawatirkan, tapi kalau tidak diambil
hatinya, bisa saja (membesar),” tutur Neles.
Sebelum semuanya
terlambat, Benny menyarankan pemerintah Indonesia untuk mengubah pendekatan
diplomasinya ke arah persuasi.
“Ajak negara-negara
Pasifik itu untuk melihat langsung bahwa Papua tanah damai itu bisa tercipta.
Jangan defensif terus,” tutur Benny.
Dialog langsung dengan
warga Papua pun harus segera digelar. Dialog mesti dilakukan dengan hati-hati
agar tak timbul gesekan, dengan skema: memausiakan orang Papua.
Neles sendiri sudah
menyusun skema dialog yang melibatkan orang asli Papua, pendatang di pulau itu,
hingga instansi-instansi yang dalam berpartisipasi dalam pembahasan
penyelesaian konflik.
Baca juga:'Jangan Lihat
Papua dengan Logika Jawa'
Pemerintah juga harus
memikirkan cara membangun kapasitas orang Papua dengan mendirikan lebih banyak
lembaga pendidikan dan sarana kesehatan.
“Dengan pembangunan
ekonomi tanpa penguatan orang Papua, orang Papua hanya akan jadi penonton. Di
situ konflik akan lebih besar karena lagi-lagi martabat mereka direndahkan,”
ucap Benny.
Benny masih berharap
pemerintahan Jokowi dapat membawa perdamaian di Papua.
"Sudah saatnya
pembangunan Papua bukan hanya dari sisi ekonomi, tapi harkat dan martabat.
Sudah saatnya fajar menyingsing di tanah Papua yang damai, dan rakyatnya dapat
dengan bangga mengatakan, 'Aku Papua,'" kata Benny.
Tanah Papua tanah yang
kaya
surga kecil jatuh ke
bumi
Seluas tanah sebanyak
madu
adalah harta harapan
Tanah Papua tanah
leluhur
di sana aku lahir
Bersama angin bersama
daun
aku dibesarkan
Hitam kulit, keriting
rambut, aku Papua
Hitam kulit, keriting
rambut, aku Papua
Biar nanti langit
terbelah, aku Papua
Posting Komentar