Papua Ujung Panah (Pup) - MENULIS kata pengantar untuk buku tentang perjuangan napi [2]John Rumbiak, atau lengkapnya Jonathan Abiram Karak Datang Rumbiak, merupakan kehormatan dan kegembiraan besar buat saya, dengan empat alasan. Pertama, saya sangat kagum dan terharu, bahwa seorang mantan staf ornop tempat saya mengabdi selama lima tahun, YPMD Irja[3], telah menjadi aktivis pembela perjuangan penegakan hak-hak asasi orang Papua di dunia internasional. Dengan kemahirannya menyuarakan perjuangan bangsa
Kedua, melalui uraian
semi-biografis tentang John Rumbiak, pembaca dapat berkenalan dengan sukusuku
di seputar sang aktivis. Mulai dari masyarakat Biak yang telah ditempa oleh
kekerasan pulau karang dan gemuruh ombak lautnya, sampai dengan masyarakat
Amungme dan Kamoro di wilayah konsesi PT Freeport Indonesia (FI), di mana
Gunung Bijih (Ertsberg) telah berubah jadi kolam raksasa[4] dan
sungaisungainya 5 [5]dicemari
merkuri dan mineral beracun lain dari tailingtambang emas terbesar di
dunia itu (Leith 2003: 142, 169-70).
Ketiga, walaupun John
Rumbiak selalu menempuh jalur tanpa kekerasan, tapi ia dapat memahami
saudara-saudara sebangsanya yang angkat senjata melawan aparat pembela
kepentingan modal asing di Tanah Papua. Dengan kata lain, John Rumbiak bukan
sekedar mengagumi Mahatma Gandhi secara fanatik, tapi juga mengagumi pemikiran
Frantz Fanon tentang manfaat therapeutic (penyembuhan) dari
perjuangan bersenjata bagi mentalitas bangsa-bangsa yang tertindas (lihat Fanon
2000, Bab I, Tentang Kekerasan, hal. 3-90).
Keempat, apa yang
diperjuangkan oleh anak dari pulau karang ini diletakkan oleh penulis buku ini,
Benny Giay, sobat lama saya, dalam konteks sejarah panjang pelanggaran HAM di
Tanah Papua. Secara sosiologis, ini sangat tepat, sebab membeberkan apa yang
dilakukan oleh John Rumbiak, tanpa menggambarkan struktur di mana sobat ini
berada, akan kurang lengkap dan kurang informatif,[6]terutama buat
pembaca yang masih awam tentang nasib bangsa Papua, setelah mereka dipaksa
bergabung ke dalam NKRI.
Dialektika antara
kelima bab pertama yang membeberkan litani pelanggaran HAM di Tanah Papua,
dengan riwayat perjuangan John Rumbiak ini (empatbelas bab berikutnya),
membedakan buku ini dengan banyak buku lain lain tentang Papua yang terbit
selama dasawarsa terakhir (misalnya, Pigay 2001; Yoman 2001, 2007, 2008; Karoba
dkk 2005a, 2005b). Sebab di buku-buku itu tidak adapersona, tokoh, yang
disoroti secara khusus. Kecuali buku-buku yang menyoroti peranan salah seorang
martir bangsa Papua, Theys Hiyo Eluay, yang dibunuh tim khusus Kopassus hari
Sabtu, 10 November 2001 (Karoba, Gebze dkk 2003; Ramandey dkk 2004; Giay 2006).
Mirip buku Giay (2006)
tentang tragedi pembunuhan Theys Eluay, sepak terjang anak pulau karang ini
menjadi lensa untuk menyoroti perjuangan orang kampung dan orang kampus,
melawan penindasan akibat perkawinan negara dan modal di Tanah Papua.
Lensa budaya berbagai
suku bangsa Papua:
Tidak kebetulan napi John
Rumbiak berasal dari lingkaran budaya Biak-Numfor, yang paling lama punya
kontak dengan kebudayaan-kebudayaan di Indonesia bagian Timur. Selain di
Kepulauan Biak dan Numfor, lingkaran budaya ini meliputi pesisir Kabupaten
Manokwari[7] sampai di
Kepulauan Raja Ampat, yang dihuni sub-suku Biak Betew, yang budayanya
dipengaruhi Tidore. Dengan kedatangan dua orang penginjil UZG (Utrechtsche
Zendings Vereniging), Ottow dan Geisler, yang memperkenalkan Injil dari tahun
1855 s/d 1924 (Ukur & Cooley 1977: 22), kekristenan telah memperluas
cakrawala pergaulan dan pendidikan orang Biak-Numfor.
Sebelum tersentuh oleh
kekristenan, kelompok etnis Biak-Numfor itu sudah punya beberapa modal budaya
untuk menjelajah dunia, yakni keret atau marga yang otonom, tanpa
struktur yang feodal dan hirarkis. Pemimpin-pemimpin keret, yang disebut mambri, terorbit
karena kemahiran berdiplomasi, berlayar dengan kemahiran navigasi yang tinggi,
serta berperang dan berdagang, dengan tiga modal utama sebagai perantau.
Pertama, kemahiran berdiplomasi itu tadi; kedua, kemampuan menempa parang,
sehingga banyak migran Biak-Numfor menjadi pandai besi (kamasan) di
kampung-kampung perantauannya; ketiga, taktik mengawinkan budak-budak perempuan
yang mereka bawa dengan putera laki-laki kepala adat setempat, sehingga
terbentuk komunitas-komunitas Biak berdarah campuran, yang memudahkan interaksi
para perantau Biak dengan penduduk setempat (Aditjondro 2004: xvii).
Pada mulanya orang Biak
tidak mudah menerima agama baru yang dibawa tukang-tukang kayu dari Belanda dan
Jerman itu. Selama 45 tahun pertama, baru 231 orang Papua dibaptis. Itupun
kebanyakan ‘anak piara’ para pendeta dan pekerja Zending (Ukur & Cooley
1977: 23). Namun setelah meyakini kebenaran agama barunya, mereka membuang
kepercayaan lama mereka secara fanatik. Patung-patungkorwar tempat
menyimpan tengkorak leluhur mereka (Moore 1995: 73-5), dibuang. Dalam suatu
kesempatan, orang-orang Kristen baru itu menyerahkan 72 patung korwar besar
dan kecil, yang tadinya dibawa waktu berburu dan menangkap ikan, untuk dibakar
atau dibuang (lihat hal. ….. di buku ini).
Baru puluhan tahun
kemudian, sesudah munculnya seorang budayawan asal Biak, alm. Arnold Clemens
Ap, sebagai kurator Museum Antropologi Universitas Cenderawasih (Uncen),
sekaligus coordinator kelompok seni-budaya Mambesak, pribumisasi liturgi
Kristen dan Kristenisasi budaya pribumi Papua mulai diterima oleh masyarakat
pribumi Papua, termasuk masyarakat Biak Numfor. Sang curator Museum juga
mendorong orang Biak kembali mengukir patung-patung korwar, yang jauh
lebih kecil dari pada yang dimusnahkan dulu, dan tidak dipakai untuk menyimpan
tengkorak leluhur mereka.
Selama kuliah di Uncen,
John juga tergembleng dalam perjumpaan adat Biak dan teologi Kristen, yang
sering menjadi pergumulan Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD) Irian
Jaya, ornop (organisasi non-pemerintah) sekuler pertama di Tanah Papua, di mana
John Rumbiak bergabung di tahun 1990, setamat dari Uncen.
Sedangkan pergumulan
antara hak-hak rakyat Papua dan Negara Indonesia, diserap oleh John dari
ayahnya, Mateus Rumbiak, yang seperti banyak orang Papua saat itu, sangat
mengharapkan Penentuan Pendapat Rakyat 1969, akan membuka jalan bagi
kemerdekaan bangsa Papua Barat. Namun perjuangan ayahnya membebaskan
pelajar-pelajar SMP dan SMA di Biak, yang ditahan di bulan November 1976 karena
menaikkan bendera Bintang Kejora di bandara Biak, tampaknya tidak menyentuh
hati nurani John Rumbiak. Selama menuntut ilmu di SMU Negeri I di Manokwari
kemudian kuliah di Uncen, John tampaknya tidak tertarik terhadap masalah
politik. Apalagi masalah Papua Merdeka.
Rupanya, lembaga-lembaga
pendidikan itu hanyalah kepompong, tempat John Rumbiak bermetamorfosa, melalui
pelajaran bahasa Inggris. Baru setelah bekerja di YPMD, kepompong itu mulai
terbuka, dan minat politik John Rumbiak mulai tampak. Sambil bekerja di YPMD,
John mulai bergabung dengan Forum Studi Masyarakat Mimika & Amungme
(FSP-MIA), yang didirikan oleh sejumlah aktivis berdarah Amungme dan kelahiran
Mimika. Ornop ini mengfokuskan perhatian pada nasib dua bangsa pribumi (indigenous
peoples) – Amungme dan Kamoro -- , korban pencemaran lingkungan dan penggusuran
oleh anak perusahaan maskapai tambang bermodal AS, Freeport McMoRan, PT
Freeport Indonesia, yang sudah disinggung di awal kata pengantar ini.
Keterlibatannya dalam
FSP-MIA mengantar John Rumbiak untuk memperdalam pemahamannya terhadap hak
ulayat orang Amungme dan orang Kamoro, melalui studi lapangan selama
berbulan-bulan di wilayah kerja PT Freeport, akhir 1994 dan awal tahun 1995. Di
sanalah laki-laki Biak itu berkenalan dengan dua orang pejuang berdarah Amungme,
Tom Beanal[8] dan Mama
Josepha Alomang (Feith 2008, Bab 4).
Selama penelitian
lapangan itulah John berkenalan dengan Kelly Kwalik, panglima Tentara
Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM). Perjumpaannya dengan
Kelly Kwalik melengkapi pengenalan cendekiawan muda asal Biak ini dengan kedua
sayap gerakan kemerdekaan Papua Barat: sayap klandestin di kota Jayapura, serta
sayap perjuangan bersenjata di hutan. Sebab selama kuliah di Uncen (1983-1987),
John tinggal bersama sepupunya, Johannes Petrus Rumbiak, di Kamp Kei, Abepura.
Johannes, alumnus Uncen yang sudah bekerja di JDF IJ (Joint Development
Foundation Irian Jaya), terlibat dalam sayap klandestin gerakan perjuangan
Papua Merdeka bersama antropolog Uncen, Arnold C. Ap, dan Eddy Mofu.
Setelah penangkapan
Arnold Ap dan Eddy Mofu oleh Kopassus di awal 1984, yang disusul exodusratusan
orang Papua Barat ke PNG, Johannes Rumbiak meminta suaka politik ke Kedubes
Kerajaan Belanda di Jakarta, bersama dua orang kawannya, Ottis Simopiaref dan
Rumayauw. Sebelum Arnold Ap dan Edu Mofu dijebak oleh aparat intel untuk lari
dan Arnold dibunuh oleh beberapa orang anggota Kopassus pada dini hari, 26
April 1984, Kedubes Belanda telah menyetujui pemberian suaka kepada trio
Rumbiak-Simopiaref-Rumayauw dan menerbangkan mereka ke Negeri Belanda pada
tanggal 13 Maret 1984. Celakanya, trio pegiat HAM bangsa Papua itu, di bulan
Januari 1995 kehilangan Johanes Rumbiak, yang meninggal setelah jatuh di rumah
seorang keluarga Papua di Belanda.
Memperjuangkan
Internasionalisasi Masalah Papua:
Boleh jadi, kehilangan
saudara sepupunya ikut menyadarkan napi John Rumbiak di Tanah Papua,
tentang pentingnya memperkuat sayap diplomasi Papua di luar negeri, untuk
membuka mata dunia tentang pelanggaran hak-hak asasi manusia dan bangsa Papua.
Sewaktu masih bekerja
di YPMD, John sudah mulai terlibat dalam kampanye internasional untuk membela
hak-hak asasi bangsanya, tapi melalui orang lain. Laporan hasil penelitian
lapangan tentang pelanggaran HAM di wilayah konsesi PT Freeport, ditulisnya
bersama Pdt. Janes Natkime, mahasiswa STT Walter Post asal Desa Banti,
diluncurkan oleh Uskup Jayapura, Mgr. Herman Munninghoff, OFM (1995), dan
disiarkan oleh ornop Australia, ACFOA (Australian Council for Overseas Aid)
(1995).
Australia dipilih
sebagai tempat peluncuran laporan berbahasa Inggris itu, karena perhatian
publik dan politisi di negara benua itu sangat besar terhadap
pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua Barat dan Timor Leste, yang waktu itu
masih jajahan Indonesia. Orang Australia juga sering membandingbandingkan nasib
bangsa Papua Niugini yang sudah merdeka, dengan nasib bangsa Papua Barat, yang
masih dijajah Indonesia.
Kebetulan juga, di saat
peluncuran Laporan ACFOA, Australia sedang menjadi tuan rumah konferensi INFID
(International NGO Forum for Indonesian Development), di mana dampak PT Freeport
Indonesia menjadi topik khusus, di samping rencana pembangunan PLTN di
Semenanjung Muria, Jawa Tengah.
Reaksi negatif yang
diberikan pemerintahan Soeharto – khususnya TNI -- terhadap laporan seorang
uskupberdarah Belanda, yang diamplifikasi oleh sebuah ornop Australia,
mendorong John dan kawankawannya untuk mendirikan ornop yang dapat menyuarakan
pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia Papua secara sistematis dan
terfokus. Itulah fungsi Lembaga Studi & Edvokasi HAM (ELSHAM)[9] di Papua,
yang mendirikan pos-pos di berbagai pelosok Papua, dengan perwakilan di Eropa
yang dipegang oleh Leoni Tanggahma, puteri dari seorang pelarian politik asal
Papua Barat di Negeri Belanda.
Selanjutnya, setelah
berulangkali menghadapi kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat
bersenjata di Papua, John dan kawan-kawannya mulai memperjuangkan “zona damai”
di Tanah Papua. Itu berarti, kedua belah fihak, yakni sayap militer gerakan
kemerdekaan Papua Barat dan angkatan bersenjata Indonesia, perlu sama-sama
menyepakati untuk mengurangi konflik bersenjata di antara mereka. Dengan susah
payah, Panglima TPN/OPM, Tadius Yogi, mau menerima gagasan itu dalam pertemuan
di Paniai, 14-15 Agustus 2002.
Dari fihak angkatan
bersenjata Indonesia, gagasan itu disetujui oleh Kapolda Papua waktu itu, Irjen
(Pol) Made Pastika, yang juga mau bekerja sama dengan ELSHAM untuk mengusut
penembakan terhadap serombongan guru Sekolah Internasional Freeport, 31 Agustus
2002. Selain itu, bekerjasama dengan ELSHAM, sang Kapolda memprakarsai sebuah
seminar nasional di Jayapura, di bulan November 2002, untuk menentukan
langkah-langkah guna mewujudkan “zona damai” itu.
Namun ledakan bom Bali
pertama,12 Oktober 2002, menggugurkan gagasan mulia itu. Di tengah-tengah
seminar di lantai atas gedung Bank Papua di Jayapura, Kapolda Papua yang mahir
beberapa bahasa asing itu ditelepon oleh Kapolri, yang memerintahkannya
mengkoordinasi penyelidikan kasus ledakan bom, yang telah menelan korban 200
jiwa, yang sebagian besar warga negara Australia (Sidel 2007: 200). Sayangnya,
Kapolda Papua penggantinya, Irjen (Pol) Tommy Jacobus, dan Kapolda-Kapolda
Papua sesudahnya, mengubur hidup-hidup gagasan zona damai itu.
Pergantian Kapolda itu
tidak menyurutkan langkah John Rumbiak, yang telah dipercayai kawankawannya
menjadi Koordinator Urusan Internasional ELSHAM-PAPUA. Muhibahnya ke belasan
Negara untuk memperjuangkan internasionalisasi masalah Papua Barat, yang sudah
dirintisnya tahun 2000 atas undangan gereja-gereja dan Watch Indonesia! di
Berlin, bulan Juni 2000, yang juga dihadiri penulis buku ini serta penulis kata
pengantar ini, semakin menjadi-jadi.
Muhibah John Rumbiak
selama tiga minggu dari tanggal 13 s/d 29 Mei 2004, semakin mengetuk hati kaum
terpelajar di kampus-kampus di berbagai kampus di negara bagian Washington,
Kalifornia, Arizona dan Colorado tentang keterlibatan perusahaan tambang
Freeport McMoRan dalam pelanggaran HAM di Papua Barat. Apalagi turut dalam
muhibah bersama John Rumbiak, Patsy Spier, guru sekolah yang suaminya mati
tertembak dalam serangan tanggal 31 Agustus 2002. Selain suami Patsy Spier,
turut terbunuh dalam serangan di Mile 62, seorang guru berkebangsaan AS dan
seorang guru berkebangsaan Indonesia, sementara tujuh orang guru berkebangsaan
AS dan seorang anak perempuan berusia enam tahun luka-luka.
Dengan bantuan staf dan
narasumber ELSHAM di lapangan, kampanye internasional John Rumbiak semakin
menohok persekongkolan antara maskapai tambang Freeport dan TNI. Walaupun di
bulan Juni 2004, Mahkamah Agung AS mendakwa Anthonius Wamang alias Uamang (53),
seorang Papua dari suku Amungme, terlibat dalam penyerangan itu, tim FBI
menyatakan bahwa FBI tidak menemukan bukti adanya hubungan antara TNI dan para
penyerang.
Hal itu berbeda dengan
temuan ELSHAM, yang mempunyai bukti kuat mengenai kongsi bisnis gaharu antara
Anthonius Wamang dan satuan militer yang menjaga keamanan operasi perusahaan
tambang itu. Selanjutnya, ELSHAM mempunyai laporan tentang bantuan materi,
khususnya senapan dan amunisi, yang diberikan militer kepada kelompok Wamang.
Data ELSHAM itu, termasuk data tentang perencanaan dan pelaksanaan penyerangan
oleh satuan TNI, mengindikasikan kemungkinan motif penyerangan itu, yaitu untuk
menaikkan bayaran kontrak keamanan dari PT Freeport Indonesia (hal …. ).
Salah satu indikasi
motif kerjasama antara TNI dan kelompok Wamang adalah bahwa penyerangan itu
terjadi dua bulan setelah Freeport memutuskan untuk mengakhiri kebiasaan selama
bertahun-tahun untuk membayar ‘ongkos keamanan’ kepada TNI, baik sebagai
institusi maupun pribadi.
Jumlahnya tidak mainmain, sebab pada tahun 2001
Freeport membayar US$ 4,7 juta kepada TNI, yang tahun berikutnya naik menjadi
US$ 5,6 juta. Angka ‘biaya proteksi’ itu diperoleh dari laporan resmi Freeport
McMoRan ke US Securities and Exhange Commission, semacam Bappepam
pemerintah AS (Aditjondro 2005: 258-9). Uang itu ditransfer langsung oleh
Freeport, dengan jumlah antara US$ 1800 hingga US$ 2100 per bulan, ke rekening
pribadi Pangdam Trikora (hal. … ).
Dugaan John Rumbiak dan
kawan-kawannya dari ELSHAM-Papua sangat masuk akal, sebab keterlibatan
satuan-satuan TNI di wilayah konsesi Freeport dalam bisnis pengumpulan kayu
gaharu, sudah merupakan rahasia umum. Satuan-satuan militer yang bertugas di
sana menjadi backingperdagangan kayu gaharu, maupun industri seks di sana.
Akibatnya, satuan-satuan bersenjata itu di sana mengfasilitasi barter antara
jasa pekerja seks komersial yang sudah mengidap virus AIDS, dengan uang hasil
penjualan gaharu (Aditjondro 2005: 253).
Penyakit yang berbahaya
bagi kelestarian suku-suku kecil di kawasan selatan Papua itu sudah menyebar ke
luar wilayah konsesi Freeport. Di Kecamatan Asue, Kabupaten Mappi, misalnya,
uang hasil penjualan gaharu habis di berbagai bisnis ilegal yang dilindungi
aparat keamanan, dengan akibat virus AIDS juga sudah merebak ke sana (Rimbayana
2007).
Menjadi “Ramos-Horta”
Bangsa Papua:
Terang saja, dengan
semakin terbuka menentang persekongkolan antara NKRI dengan maskapaimaskapai
transnasional di Tanah Papua, khususnya PT Freeport Indonesia, tanah airnya
sendiri menjadi semakin tidak aman bagi napi John Rumbiak. Seperti
Jose Ramos-Horta sebelum diterima menjadi dosen tamu Universitas NSW di Sydney,
John Rumbiak terpaksa berkelana dari negara ke negara, khususnya negara-negara
Barat yang kapitalis-kapitalisnya begitu bersemangat mengeruk kekayaan Tanah
Papua. Seperti juga Ramos-Horta, John Rumbiak menguasai bahasa Inggris dengan
sangat fasih, berkat masa studinya yang tidak diinterupsi kegiatan politik
praktis.
Namun berbeda dengan
Ramos-Horta, yang dalam advokasi internasionalnya memanfaatkan darah Latinnya,
John Rumbiak lebih mengandalkan warna kulitnya, alias membangun solidaritas
tokoh-tokoh dan bangsa-bangsa kulit hitam di manca negara. Advokasi ini,
bertolak dari popularitas slogan Black is Beautiful di kampus Uncen,
antara tahun 1977 sampai 1979, yang kemudian mengkristal dalam pembentukan
kelompok seni budaya Mambesak oleh almarhum Arnold C. Ap dan
kawan-kawannya.
Seperti ditulis Benny
Giay di buku ini, “ide ini sebenarnya sebuah upaya penegasan kembali pemahaman
diri dan sejarah. Bisa dilihat sebagai sebuah pernyataan “menerima diri dan
identitasnya”, sekaligus sebuah protes, karena terus menerus dan secara massif
mengalami diskriminasi rasial dan etnis dari orang Melayu Indonesia” (hal. ……).
Berkat persentuhannya
dengan kelompok Mambesak dan bacaannya tentang gerakan Rastafaria di
Jamaika dan gerakan Black Consciousness Steve Biko di Afrika Selatan,
dalam perjalanannya ke Australia, Eropa dan AS, John Rumbiak membangun jaringan
dengan kelompok-kelompok kulit hitam di sana. Ia semakin sadar bahwa perbudakan
fisik telah bergeser menjadi perbudakan budaya. Setelah berkenalan dengan
Angela Davis, aktivis perempuan AfricanAmerican di Kalifornia,
kesadaran John tentang tumpang-tindihnya penindasan atas dasar kelas dan ras,
semakin mengental.
Kesadaran ini menjadi
bekal bagi John Rumbiak untuk menjalin hubungan dengan Black Caucus di
Kongres AS, yang dipelopori politikus asal Samoa, Eni Faleomavaega.
Pertemuannya yang pertama dengan Eni terjadi di Kongres AS di bulan Agustus
1999. Saat itu, Eni Faleomavaega sedang berapi-api memprotes kebisuan
pemerintah AS dan dunia, terhadap penderitaan orang PNG di Aitape dan Wewak
serta orang Biak yang baru saja dilanda tsunami. Selanjutnya, anggota Kongres
dari Samoa Barat, sebuah teritori AS di Samudera Pasifik, menyampaikan apa yang
dianggapnya lebih mengganggu lagi, yakni kebisuan dunia terhadap nasib bangsa
Papua yang sudah dijajah oleh Indonesia sejak awal 1960-an.
Ternyata, Eni
Faleomavaega pertama kali mendengar tentang Papua Barat dari Michael Kareth,
seorang pejuang kemerdekaan Papua Barat yang bermukim di PNG. Namun yang
membuat Eni tambah semangat membela orang Papua – baik di PNG maupun di Papua
Barat – adalah karena leluhurnya termasuk penginjil dari Samoa yang direkrut
badan-badan pekabaran Injil bangsa-bangsa Barat yang mengkristenkan generasi
tua Biak di Teluk Sarera.
Bermula dari situlah,
anggota Kongres AS dari Samoa itu berhasil meloloskan beberapa resolusi di
Kongres AS yang menyatakan keprihatinannya terhadap nasib bangsa Papua,
didukung oleh Black Caucus di Capitol Hill, Washington, DC.
Kunjungan-kunjungan Eni Faleomavaega ke Tanah Papua di bulan Juni dan November
2007, yang dikawal ketat oleh aparat keamanan Indonesia, juga merupakan hasil lobbying tingkat
tinggi John Rumbiak, membangun jaringan solidaritas Papua Amerika itu.
Stroke, setelah
diinterogasi FBI:
Bagaimanapun juga, napirem kita
ini, bukanlah mesin. Menghadapi jadual perjalanan yang begitu ketat, serta
tekanan urat syaraf sebagai salah seorang jurubicara HAM bangsa Papua yang
paling terkemuka, di bulan Februari 2005, John Rumbiak terserang stroke. Waktu
itu ia baru saja tiba di apartemen kawannya di New York, setelah aktivis HAM
Papua ini beberapa jam diinterogasi oleh FBI di Washington DC, karena
membongkar keterlibatan serdadu dalam penembakan guru-guru Freeport, hampir
tiga tahun sebelumnya.
Saat ini, pejuang HAM
bangsa Papua itu tinggal dengan kawannya di New York, demi penyembuhannya.
Setelah sembuh total nantinya, laki-laki lajang itu belum berniat pulang ke
Tanah Papua, karena merasa keamanannya tidak terjamin, semenjak ia mengungkit
keterlibatan TNI dalam kasus di Mile 62 di jalan Freeport itu. Maklumlah, ia
telah berkali- kali menerima ancaman pembunuhan lewat telepon di tahun 2003.
Ketakutan John Rumbiak
sangat beralasan, melihat apa yang dialami aktivis HAM Acheh, Ja’far Siddiq
Hamzah, yang bertahun-tahun berkampanye di AS untuk kemerdekaan Acheh, sambil
kuliah di New School University di New York. Baru sebulan pulang kampung,
jenazah Ja’far ditemukan bersama empat jenazah lain di sebuah jurang di
Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Kelima jenazah itu ditemukan dengan tangan
terikat kawat duri dan penuh tanda siksaan. Mereka diduga telah ditembak dan
ditikam sampai mati. Jenazah aktivis HAM yang baru berumur 35 tahun itu
dikuburkan di sebelah kuburan orangtuanya di Desa Blangpulo, dalam
bayang-bayang sumur gas alam Arun yang sedang menjadi sasaran investigasi
Ja’far (lihat Aditjondro 2001: xix).
Sebelumnya, di awal
2002, John Rumbiak, bersama direktur ELSHAM-Papua, Johannes G. Bonay, serta
sejumlah aktivis HAM Papua yang lain, mendapat ancaman pembunuhan lewat
telepon, sesudah ELSHAM-Papua, LBH Papua, dan Kontras Papua mengeluarkan
pernyataan bersama tanggal 11 Februari 2002, menuntut pemerintah pusat
membentuk tim investigasi khusus untuk menyelidiki pembunuhan Ketua Presidium
Dewan Papua, Theys Hijo Eluay, pada tanggal 10 November 2001. Latar belakang
pernyataan ketiga ornop HAM Papua itu adalah hasil penyelidikan ELSHAM-Papua,
bahwa ada anggota Kopassus terlibat dalam pembunuhan tokoh pejuang kemerdekaan
Papua itu, yang juga dibenarkan oleh Kapolda Papua waktu itu, Irjen (Pol) I
Made Pastika (AI 2002).
Telepon genggam (handphone)
memang merupakan alat ampuh untuk melakukan perang urat syaraf, dengan mengirim
ancaman. Sejalan dengan itu, telepon genggam juga dapat dipakai oleh aparat
intelijen untuk memantau jaringan komunikasi sang pemilik telepon genggam,
dengan membuat kembarannya (cloning). Tampaknya ini pernah terjadi terhadap
telepon genggam John Rumbiak. Menjelang Seminar Nasional tentang Papua Zona
Damai di bulan November 2002, di mana saya juga diundang, telepon genggam John
hilang dari meja kerjanya. Namun sebulan kemudian, tiba-tiba muncul kembali di
atas meja kerjanya. Di waktu itu, saya berusaha berhubungan dengan John, untuk
mengatur perjalanan saya ke Papua. Namun bukan John yang menjawab pertanyaan
saya, tapi seseorang dengan logat Jawa yang kental. Jawabannya tidak nyambung
dengan pertanyaan saya. Boleh jadi, saat itu telepon genggam John sudah dibuat
kembarannya (cloning) oleh aparat intelijen di Tanah Papua.
Makanya, stroke yang
dialami napirem ini boleh dianggap sebagai campur tangan Ilahi, agar
John beristirahat dulu dari rutinitas kerjanya yang seringkali sangat tidak
manusiawi, baik dari sudut fisik maupun mental. Saat ini prioritas pertama bagi
John Rumbiak adalah menguatkan fisiknya kembali. Setelah itu, ada bagusnya ia
lanjutkan studinya ke jenjang S-3, dengan menulis disertasi yang menjajaki
solusi-solusi yang terbaik bagi masa depan bangsa dari rumpun Melanesia ini.
[1] Dalam
kata pengantar ini, saya sengaja menggunakan kata “bangsa” untuk mengacu ke
penduduk setengah pulau yang jumlahnya beberapa juta jiwa itu (mana sensus yang
betul-betul dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah?), dengan merujuk ke
teori Benedict Anderson (1991), tentangnation sebagai “komunitas yang
dibayangkan” (imagined community). Ada tiga benda budaya yang membantu
mempertajam imajinasi itu, menurut Anderson, yakni sensus, peta, dan museum
(Bab 10, hal, 163-86). Imajinasi kartografis itu diterapkan oleh para
nasionalis Indonesia melalui slogan: “dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas
sampai Pulau Rote”. Sedangkan slogan para nasionalis Papua Barat adalah: “dari
Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong sampai ke Pegunungan Bintang, dari Biak
sampai ke Pulau Adi” (lihat ‘Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat’ oleh Seth
Jafeth Rumkorem, 1 Juli 1971, dalam Kholifan 1999: 117). Numbai, atau Port
Numbai, adalah nama Papua untuk Jayapura.
[2] Panggilan napi, singkatan
dari napirem, berarti “ipar” dalam bahasa Biak, suatu panggilan
bersahabat dengan orang dengan siapa kita merasa dekat, seperti panggilan lae dalam
bahasa Batak Toba.
[3] Ornop
ini sudah berubah namanya menjadi YPMD di Tanah Papua, setelah Presiden
Abdurachman Wahid menyetujui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua. Perubahan
nama ornop ini seiring dengan perubahan nama Gereja Kristen Injili (GKI) Irian
Jaya, menjadi GKI di Tanah Papua. Dalam Kata Pengantar ini, akan disebut YPMD
saja. Papua dalam bahasa Inggris di berbagai gelanggang internasional,
John Rumbiak boleh dianggap “Ramos-Horta”nya bangsa Papua.
[4] Kolam
raksasa yang diberi nama Danau Wilson oleh PT Freeport, berfungsi sebagai
sumber air bagi kilang pemisah mineral berharga (emas dan perak) dari bijih
yang ditambang (lihat Pickel 2002: 78).
[5] Sejak
1970-an, masyarakat Kamoro (d/h Mimika) di hilir tambang Ertsberg dilarang oleh
PT Freeport untuk mandi, minum dan mencuci dengan memakai air Sungai Aikwa dan
Sungai Iwaka. Dewasa ini, sungai-sungai itu sudah mengalami pendangkalan dan
tidak ada ikan, kepiting, dan lain-lain di dalamnya. Akibat pendangkalan, S.
Iwaka jadi lokasi galian golongan C. Bahkan rata-rata semua sungai di Kabupaten
Mimika sudah mengalami pendangkalan. Penduduk terpaksa mencari sagu dan ikan ke
kampung-kampung tetangga. Memang, ada kompensasi berupa dana 1 % dari
keuntungan PT Freeport, tapi itu buat orang Amungme di gunung maupun orang
Kamoro di pesisir, sehingga sangat tidak cukup. Mula-mula, dari 12 kampung yang
terkena dampak PT Freeport, hanya tiga kampung yang dampaknya diakui oleh PT
Freeport dan diberi recognisi. Lalu, saya perjuangkan hingga setiap kampung
mendapat ganti rugi sebesar Rp 2 milyar. PT Freeport juga telah membangun sumur
bor di sembilan kampung, menggunakan solar cell (sel tenaga
matahari). Tapi selain airnya tidak layak dikonsumsi, sumur-sumur tersebut
tidak terawat, karena masyarakat tidak diajarkan cara-cara perawatannya.
Akibatnya, sumur-sumur itu tidak berfungsi lagi (Marthin Maturbongs, Sekretaris
Komisi A DPRD Kabupaten Mimika, wawancara tanggal 17 September 2009).
[6] Dialektika
antara agency dan struktur dalam teori sosiologi, ditekankan oleh
banyak sosiolog masa kini, seperti Giddens, Archer, Bourdieu, dan Habermas
(lihat Ritzer 1992: 567-589).
[7] Nama
“Manokwari” sendiri berasal dari para perantau suku Biak, yakni “Mnu-kwar”,
yang berarti “kampung tua”, yang dalam lidah Indonesia, khususnya lidah Jawa,
berubah menjadi “Manokwari”.
[8] Di
kemudian hari, Tom Beanal berhasil ‘dirangkul’ oleh PT Freeport, dengan
pengangkatannya sebagai Komisaris, sementara anaknya, diangkat jadi agen
perjalanan perusahaan bermodal milyaran dollar AS itu.
[9] Nama
ELSHAM-PAPUA ikut diilhami oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
di Jakarta, yang didirikan oleh sejumlah mantan staf YLBHI dan aktivis-aktivis
HAM yang lain.
Posting Komentar