prefix='og: https://ogp.me/ns# fb: https://graph.facebook.com/schema/og/ article: https://graph.facebook.com/schema/og/article'> Berebut Emas di Papua - West Papua Ujung Panah

Berebut Emas di Papua


Papua kini menjadi fokus perhatian berikutnya setelah Aceh. Keberadaan perlawanan pasukan bersenjata di sana membuat gusar pemerintah Indonesia. Berbagai spekulasi muncul dari opsi otonomi khusus untuk Papua hingga opsi merdeka bagi tanah Papua. Setelah Aceh, gerakan kemerdekaan yang paling mencolok adalah gerakan Papua merdeka. Oleh karenanya tentara Indonesia punya alasan kuat untuk beroperasi di pulau paling timur Indonesia itu. Mereka menempatkan pasukan pasukan di kampung-kampung, pegunungan dan di tengah-tengah masyarakat pesisir.

Baru-baru ini, sebuah insiden penembakan menyedot perhatian khalayak umum. Di jalur Tembagapura menuju area pertambangan PT.Freeport Indonesia puluhan orang luka-luka, empat orang tewas ditembak dalam rentan waktu panjang tak bersamaan. Itu terjadi sejak Juli 2009, hingga saat ini situasi di jalur itu masih mencekam. Ribuan buruh Freeport bekerja dalam kondisi terancam. Sementara para elit birokratnya dengan nyaman menggunakan helikopter ke area tambang. Tentara Nasional Indonesia melalui kepala penerangan Kodam XVII Cendrawasih Letnan Kolonel Infantri Susilo melancarkan tuduhan terhadap Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka atau TPN/OPM sebagai pelaku penembakan itu seperti dikutip www.tempointeraktif.com.  Namun Kepolisian Republik Indonesia yang diwakili oleh Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Papua Irjen Polisi Bagus Ekodanto tak sependapat dengan tentara. Dia malah belum berani memastikan siapa pelaku penembakan itu. Heran, kedua satuan keamanan itu kali ini berbeda dalam soal tuduh menuduh.

Kelly Kwalik*, panglima TPN/OPM membantah tuduhan itu melalui press release yang dia sampaikan kepada pemerintah Australia sehubungan dengan kematian salah satu warga Australia yang bekerja untuk Freeport. Menurut Kelly dalam pernyataan itu, pihaknya tidak akan menggangu warga sipil dalam upaya melawan pemerintah Indonesia. Pernyataan Kelly beredar di media massa. Kelly Kwalik ditetapkan sebagai target penangkapan oleh tentara dan polisi sejak lama. Dia buron dan bergerilya di hutan Papua.

Freeport di Papua

PT.Freeport, perusahaan multinasional bermarkas di Amerika Serikat. Dia beroperasi di Papua sejak tahun 1967. Sebagian besar sahamnya (80%) dimiliki oleh Freeport McMoRan Copper&Gold Corp, sementara pemerintah Indonesia hanya memiliki saham 9,36% (sumber: Jatam). Dia menggali gunung Gasberg di kabupaten Mimika yang mengandung emas. Menteri Pertambangan dan Energi, Ginandjar Kartasasmita pada tahun 1996 memberi ijin tambang sebanyak 300 ribu ton emas per hari.

Dengan keuntungan berlimpah itu, Freeport membangun kerajaannya dengan sangat mewah. Pasukan keamanan berjumlah ribuan, tediri dari polisi dan tentara. Sebuah kota yang dinamai Koala Kencana, berdiri megah di atas penderitaan rakyat Papua. Di kota itu semua fasilitas lengkap, macam kota-kota di Amerika. Kota itu hanya boleh dimasuki oleh karyawan Freeport. Pemeriksaan ketat, kendaraan masuk harus ada identitas khusus atau bernomor seri Freeport.

Keberadaan Freeport ditengarai melakukan pelanggaran hak asasi manusia. sejak berdirinya, telah banyak kekerasan terhadap penduduk setempat. Tailing atau limbah buangannnya hampir menghabiskan sumber sumber kehidupan rakyat Papua; tanah subur, hutan, sungai dan laut.

Sementara di pegunungan itu bermukim tujuh suku besar (Amungme, Dani, Nduga, Kamoro, Damal, Moni, ekari). Tapi Freeport bersama pemerintah Indonesia kemudian mengungsikan mereka ke Kwanki Lama, sebuah kampung yang terletak di kota Timika, ibu kota kabupaten Mimika. Ketersediaan bahan makanan yang semakin menipis membuat warga yang pola hidupnya berburu dan meramu kesulitan mencari makan.

Semakin hari rakyat Papua semakin sadar kerugian yang ditimbulkan akibat penambangan emas oleh perusahaan itu.

“Kami sudah memberi emas kepada mereka, tapi mengapa mereka menangkap kami,” kata Viktor Beanale, seorang kepala suku Amungme yang dituduh menembak di jalur Tembagapura. Viktor dilepas karena tak terbukti bersalah, tapi enam orang lainnya saat itu November 2009 masih ditahan di Kepolisian Resort Mimika. Viktor dan keenam tahanan lainnya merupakan satu keluarga dekat. Mereka ditangkap di rumah, diseret ke mobil polisi, diinjak dan dipukuli. Viktor bahkan tidak mengerti alasan polisi menangkapnya. Dia tidak berbicara dalam bahasa Indonesia. Dia hanya bicara dalam bahasa suku Amungme. Emosinya meluap saat dia menjelaskan perlakuan polisi terhadapnya

Penangkapan semena-mena itu dikecam oleh para aktivis hak asasi manusia. Forum Kerja (Foker) Papua menyelidiki ada pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh polisi. Saul aktivis Foker mengatakan tuduhan itu seperti dibuat-buat, sebab para korban sedang berada di tempat lain saat kejadian penembakan itu terjadi. Saul mempunyai bukti atas itu. Tak ada alat bukti yang bisa memastikan  bahwa merekalah pelakunya.

“Ah, itu rebutan jatah makan saja,” kata Saul. Dia juga mempertanyakan bagaimana mungkin senjata secanggih itu bisa beredar di kalangan luas jika tak ada keterlibatan tentara atau polisi di sana.

Vivanews.com, sebuah situs berita melansir pernyataan ketua Dewan Adat Papua, Forkosrus Yoboisembut. Menurutnya teror penembakan itu sengaja diciptakan dengan tujuan memperoleh dolar dari kompensasi uang keamanan. “Siapa lagi yang merekayasa itu selain aparat,” kata dia. Logikanya, selain akses masuk areal Freeport sangat ketat tidak sembarangan orang bisa melintas, penjagaan tentara dan polisi yang jumlahnya ribuan sangat ketat. Mustahil warga sipil atau tentara OPM bisa masuk dan melancarkan aksi teror.

Kekacauan di area Freeport seperti alasan polisi dan tentara untuk unjuk gigi. Keduanya ramai-ramai bekerja seolah olah memberantas teror. Di tengah kejadian itu, tentara menambah pasukannya 600 orang dan Brigade Mobil atau Brimob 105 orang. Total pasukan berjumlah 1500 orang. Tapi kelompok penembak itu tak jua ditemukan.

Dengan demikian, Freeport suka atau tidak, harus menggelontorkan uang keamanan. Laporam New York Times pada desember 2005 mengungkapkan bisnis militer dan polisi di wilayah itu. Majalah itu menerima sebuah dokumen dari bekas karyawan Freeport tentang pengucuran uang jutaan dolar kepada militer Indonesia. Isinya: sedikitnya Freeport membayar USD$20 juta (Rp 184 miliar) kepada militer dan polisi Papua pada kurun waktu 1998 hingga 2004. Ada juga tambahan USD$10 juta (Rp 92 miliar) yang dibayarkan kepada militer dan polisi Indonesia. Totalnya, dalam jangka waktu itu Rp 276 miliar. Uang itu belum termasuk yang mengucur ke para komandan. (Sumber: New York Time Jane Parlez, Raymond Bonner dan kontributor Evelyn Rusli, “Below a Mountain of Wealth, a River of Waste,” 27 Desember 2005)

Mungkinkah “rebutan makan” yang dimaksud Saul di atas tadi, adalah persaingan antara polisi dan tentara untuk mendapat dana keamanan itu?

Kecurigaan yang masuk akal jika melihat tingkah polisi dan tentara yang dalam mengidentifikasi pelakunya saja sudah beda. Kedua satuan itu juga seperti bersaing menarik simpati media, seolah olah satu sama lain paling layak menjaga keamanan di daerah itu.

Organisasi Papua Merdeka

Jika Anda ke Papua, cukup mudah mendapati orang yang mengaku OPM. Jangankan di Papua, di Jakarta pun banyak yang secara terbuka mengakuinya. Namun, yang manakah OPM itu?

Dalam sejarahnya, OPM terbentuk akibat ketidaksetujuan masyarakat Papua atas persetujuan New York 15 Agustus 1962 yang di dalamnya memuat penyerahan Papua (dulu Irian Jaya) kepada Indonesia sebagai jajahan Belanda yang baru merdeka. Tapi perjanjian itu sungguh tidak adil, sebab masyarakat Papua tidak dilibatkan sama sekali.

Semenjak saat itulah OPM muncul. Tapi dalam perkembangannya pecah menjadi dua faksi besar. Faksi pimpinan Aser Demotekay, deklarasi tahun 1962 di Jayapura. Kelompok ini mengambil jalan kooperatif dengan pemerintah Indonesia, menggunakan campur tangan adat dan agama, tidak ada program yang jelas dan cara perlawanannya melalui ceramah dan pengarahan. Faksi lain di bawah pimpinan Terianus Aronggear yang mendeklarasikan diri pada tahun 1964 di Manokwari. Kelompok ini mengambil jalan radikal, bergerilya dan melakukan perlawanan bersenjata.  Mereka juga membangun diplomasi di luar negeri, memiliki program dan anggaran dasar organisasi. Kelly Kwalik generasi berikutnya yang memimpin pasukan bersenjata. Sikap antikolonialisme dan antineoliberalisme menjadi agenda kampanye kelompok ini.

Akan tetapi perpecahan OPM tidak selesai dalam dua faksi. Sekarang ini banyak kelompok yang mengaku OPM tapi juga lunak terhadap pasukan Indonesia. Kelompok-kelompok kecil ini disinyalir sengaja dibentuk oleh pasukan Indonesia untuk melakukan kekacauan.

Bagaimana nasib rakyat Papua?

Sebuah lembaga swadaya masyarakat Jaringan Tambang (Jatam) yang konsern melakukan advokasi warga dan melakukan investigasi di wilayah-wilayah yang terdapat pengerukan bahan tambang, mencatat; sepanjang tahun 1975-1997 sekitar 160 orang dibunuh di sekitar area tambang Freeport. Angka itu belum termasuk korban meninggal akibat kelaparan dan penyakit akibat mengungsi di hutan-hutan selama operasi militer tentara Indonesia pada 1977-1978 dan sepanjang tahun 1995-1997. Pembunuhan terhadap rakyat sipil juga terjadi dalam tragedi Abepura tahun 2000, penangkapan sewenang wenang dan penyiksaan terhadap 105 orang rakyat sipil. Bahkan, daerah Yakuhimo hingga saat ini masih didera kelaparan.

Limbah tailing Freeport sudah menghancurkan dataran rendah sungai Ajkwa yang merupakan sumber kehidupan bagi rakyat sekitar. Sungai itu sudah dialiri sedikitnya 1,3 milyar ton limbah tailing. Keadaan yang sangat mengerikan; di negeri emas rakyatnya kelaparan, tanahnya hancur dan kegilaan militer merajalela di tengah ketidakberdayaan rakyat.

Dalam konstitusi negara, sumber daya alam seharusnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Nyatanya, harta negara itu dimiliki oleh korporasi, rakyat hanya kena getah dan limbahnya.

Resesi Ekonomi and Emas

Emas adalah komoditi investasi yang dianggap stabil, dan oleh karena itu biasanya pada periode-periode ketidakstabilan ekonomi maupun politik maka permintaan emas akan meningkat. Resesi hebat kali ini telah membuat harga emas melonjak. Tahun ini, harga emas mencapai rekor, dan diperkirakan pada tahun 2010 harga emas akan mencapai $1500. Ini membuat penambangan emas sebagai satu usaha yang paling menguntungkan pada periode ini.

Para kapitalis, setelah meremukkan perekonomian dunia dengan spekulasi bursa saham dan hedge fund mereka, kini melihat emas sebagai komoditi spekulasi selanjutnya. Siapakah yang akan menderita? Rakyat Papua yang tanahnya dirampas, kebebasannya dikekang, alamnya dirusak, untuk segenggam emas yang akan diperjual-belikan di Wall Street.

Begitulah sistem kapitalisme bekerja. Hak-hak rakyat Papua diinjak-injak demi keuntungan semata. Pemerintahan Indonesia hanyalah menjadi pelayan untuk korporasi multinasional, melakukan kerja kotor perusahaan-perusahaan kapitalis. Jangankan kedaulatan nasional Indonesia, bahkan hak kebangsaan rakyat Papua pun dijual. Perjuangan melawan eksploitasi di Papua dan untuk meraih kemerdekaan Papua tidak bisa dipisahkan dari perjuangan melawan sistem kapitalisme.



* Kelly Kwalik baru saja diberitakan mati ditembak oleh pasukan polisi pada tanggal 16 Desember 2009 dalam operasi penyerbuan yang dilakukan dini hari. Kematian dia telah memercikkan serangkaian demo oleh rakyat Papua.

Penulis: Elzevira Rozalia

Sumber: Militan Indonesia

Stay Connected

Copyright © West Papua Ujung Panah. Designed by OddThemes