Photo gutterspit. Miffe Merauke "MIFEE dan Ancaman Eksistensial Masyakarat Papua" |
Saya memberikan peta lokasi Rumah Dialektika pada seorang rekan yang tak menemukannya dan tersesat di Pasar Suci. “Cepat sedikit, film sudah mau dimulai”, sedikit pesan teks balasan saya tambahkan. Saya memang agak bersikeras mengundangnya malam itu untuk hadir menyaksikan pemutaran film The Mahuzes. Film perihal masyarakat adat di Papua yang berjuang melawan perampasan ruang hidup mereka oleh sebuah agenda pengerukan besar-besaran dengan nama MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) yang dicanangkan pemerintah Indonesia dengan merangkul puluhan korporasi untuk beroperasi di sana.
Cerita tentang eksploitasi alam oleh industri dan dampaknya bagi orang-orang Malind di Papua sebenarnya sudah bukan kabar baru. Bahkan di luar cerita tentang Freeport sekalipun. Tiga tahun lalu Dr. Laksmi A. Savitri memaparkannya pada bukunya yang penuh metafor luarbiasa, ‘Korporasi dan Politik Perampasan Tanah’, tentang bagaimana rencana negara melalui tangan korporasi bermaksud untuk menjawab tantangan ‘krisis pangan dunia’ yang akan datang. Sebuah gagasan besar ‘memberi makan dunia’ yang disusun dan dikerjakan oleh para anggota kabinetnya dan para ahli ekonomi pasca krisis global kapitalisme tahun 2008 lalu, yang menganut konsep ‘krisis kelangkaan pangan’ ala Malthusian dan tentu saja penganut ideologi ekonomi pasar bebas.
Di awal tahun 2008 ketika program ini masih berupa rencana Bupati Merauke dalam nama MIRE (Merauke Integrated Rice Estate) dan MIFEE masih berbentuk dokumen-dokumen di kantor para konsultan ekonomi, Roem Topatimasang pernah membuat video essay tentang bagaimana suramnya masa depan orang-orang Malind yang tinggal di Bandiamo berjudul ‘Surga yang Hilang’. Setelah MIFEE dijalankan di era SBY di tahun 2010 sebagai bagian dari MP3EI (Master Plan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia), cerita tentang dampak-dampaknya mulai beredar di banyak media; hutan mulai banyak tergerus, ruang hidup orang-orang Malind mulai terampas dan konflik-konflik sosial mulai merebak.
Film dokumenter yang kali ini kami dapatkan diproduksi oleh Watchdoc, dua orang jurnalis yang melakukan perjalanan ke Indonesia Timur untuk tak sekedar memotret bentangan alam Indonesia yang luar biasa, namun juga banyak kenyataan sosial yang tak banyak diketahui khalayak. Tentang tradisi dan kearifan lokal yang kaya, tentang kompleksnya ruang hidup warga dan keterikatannya dengan alam, dan bagaimana semuanya coba ditaklukan di bawah keserakahan kapitalisme. Sesaat setelah menonton trailernya, kami sepakat bahwa ‘The Mahuzes’ harus dibuat screening-nya bagi publik sebagai bagian dari rangkaian kampanye kami untuk memperbesar ruang diskusi tentang bagaimana ekspansi kapital, lewat RPJMN rezim ini, melanjutkan agendanya dari rezim terdahulu.
Rekan saya tadi datang tepat ketika film dimulai. Saat layar menayangkan beragam aktivitas keseharian warga asli, panorama bentang alam Papua yang sangat indah, dan bagian yang sangat penting dari film ini; sebuah klip dokumen panen raya. Panen raya yang tentunya bukan sekedar panen raya. Sebuah seremonial panen padi di atas lahan percobaan seluas 248 hektar di Distrik Kurik Merauke, digarap oleh korporasi bernama Medco Group, milik Arifin Panigoro. Jokowi hadir disana atas undangan Arifin sendiri, beserta sejumlah menteri dan kepala kepolisian RI serta beberapa pimpinan militer. Ia berpidato singkat tentang rencana pemerintah mengkonversi lahan seluas 1,2 juta hektare milik masyarakat adat setempat menjadi sawah dalam waktu tiga tahun.
mahuzes_b Merauke |
Oleh karenanya pemerintah berencana akan mengeksekusinya dengan cara ‘modern’ yang, menurut Jokowi, satu orang mampu menggarap 50 hektare lahan. Tentu saja kemudian dalam prosesnya modal besar dibutuhkan untuk membeli mesin seperti Harvester Combine, mesin pemotong sekaligus perontok padi itu. Artinya, pertanian yang ia maksud adalah pertanian skala mega-industri yang hanya mampu negara lakukan dengan bantuan modal korporasi. Jokowi menjelaskannya dengan lugas, “Dibutuhkan anggaran yang bukan lagi milyaran, tapi trilyunan, oleh karena itu ada investor”.
***
Film ini hanya bercerita tentang satu episode kecil dari konflik besar yang sudah terjadi sampai hari ini. Namun cukup untuk menjadi bukti nyata di lapangan tentang dampak dan konflik yang diprediksi sebelumnya, jauh hari sebelum agenda MIFEE berjalan.
Berlokasi di Muting, sebuah distrik yang berjarak sekitar 250 KM sebelah utara kota Merauke. Di sana hidup orang Malind bermarga Mahuze. Mereka menguasai 127 ribu hektar tanah yang sebagian telah diserahkan dan ditempati oleh para trasnmigran. Lahan seluas itu lebih dari separuhnya merupakan belantara, sisanya hutan sagu dan rawa. Area seluas itu lah sisa milik mereka, yang selama ini menjadi ruang hidup para Mahuze. Di dalamnya terdapat pula lokasi yang mereka yakini sebagai hutan sakral tempat roh nenek moyang mereka tinggal. Area itu mereka sucikan dan harus tetap terpelihara. Semua tanah-tanah mereka itu kini dikuasai secara komunal, diakui sebagai tanah adat atau ulayat.
mahuzes_c MIFFE Merauke |
Pendek cerita, akhirnya perusahaan berhasil mendapatkan legitimasi untuk mengambil lahan berdasarkan dokumen persetujuan yang ditandatangani Linus Mahuze. Linus adalah kepala marga terdahulu yang meninggal dunia saat eksekusi mulai berjalan dan warga mulai memprotes. Pada film ini diceritakan lewat rapat-rapat para warga bagaimana perusahaan diduga kuat melakukan manipulasi. Mereka sering membawa Linus keluar dari Muting bahkan hingga ke Jakarta. Warga sama sekali tidak dilibatkan ketika penandatanganan antara perusahaan dan Linus berlangsung, dan Linus mendapatkan uang sebesar 350 juta. Perusahaan pula dituduh memalsukan tanda-tangan para tokoh Muhuze yang tertera di lembar perjanjian karena tak satupun dari mereka yang merasa menandatangani dokumen itu.
Protes warga tak pernah dihiraukan tentunya. Perusahaan melanjutkan mengkapling-kapling hutan Mahuze mengirim buldozer-buldozer dan merobohkan banyak pohon sumber pangan orang Malind. Warga geram dan mulai mendatangi para pekerja perusahaan, lalu meminta untuk keluar dari hutan bersama alat-alat berat mereka untuk kemudian mendirikan patok simbol penolakan. Namun patok itu tak bertahan lama, beberapa hari kemudian mereka menemukan patok-patok tersebut dicabut dan dirusak oleh pihak perusahaan dan aparat dan alat berat kembali melanjutkan kegiatannya.
Kemarahan warga sudah tak terbendung lagi. Bagi mereka ini merupakan pelecehan adat. Mereka kembali memasang patok tersebut sembari melakukan upacara tanam ‘Kepala Babi” sebagai ritual adat tertinggi. Jika patok itu kembali dilanggar maka konsekuensinya adalah nyawa. Simbol pernyataan perang para Mahuze bagi mereka yang tetap melawan.
mahuzes_d MIFFE Merauke |
Film berdurasi satu setengah jam ini cukup penting untuk melihat bagaimana komunitas adat bergantung terhadap hutan untuk hidup bukan hanya bertahan hidup dan sebagai sumber mata pencarian. Hutan bagi orang Malind memiliki hubungan mendalam dengan budaya dan identitas mereka sebagai masyarakat.
Kita bisa melihat bagaimana fakta kecil dari begitu banyak cerita yang kita dengar perihal daya rusak korporasi saat MIFEE berlangsung di era SBY, dan akan sangat mudah diperkirakan akan berulang. Medco yang dirangkul pemerintah tadi misalnya, sebuah korporasi perintis MIFEE yang kepentingannya tinggi di Merauke. Salah satu anak perusahaannya yang bergerak di bidang kehutanan, PT Selaras Inti Semesta, tercatat memiliki reputasi buruk setelah menjebak masyarakat kampung Zanegi melepaskan hutan mereka dengan ganti rugi yang sangat tak berarti. Dampak selanjutnya tak sulit diperkirakan; kemiskinan dan konflik. Setelah tak kunjung menghasilkan profit, perusahaan itu tutup dan meninggalkan jejak berupa hutan luas yang hancur berantakan dan penduduk tidak lagi punya ruang hidup dan tak berpenghasilan.
Dari film ini pula kita bisa melihat bagaimana masyarakat adat justru begitu beradab. Seorang Mahuze bercerita tentang mengambil secukupnya sagu dari hutan atau ikan dari sungai, jangan mengambil terlalu banyak pula jangan membuang apa yang sudah di ambil. Ini menunjukkan bagaimana cara hidup mereka yang menyatu dengan alam, di mana ia menjadi bagian metabolik atau berada dalam kesatuan daur dengan proses sosial. Ini tentu saja kontras dengan masyarakat kapitalistik yang menaruh alam sebagai komoditas sehingga alam ditaruh sebagai objek eksploitasi.
Kita bisa juga melihat bagaimana mereka berkomunikasi antara sesama warga, berdialog tentang berbagai masalah dan bermufakat mencari solusi. Adab mereka pula bisa dilihat saat mereka mendatangi para pekerja korporasi dan berbicara dengan mereka. Meski mereka geram, mereka masih bisa berdialog dengan kepala dingin dan bijak. Tidak serta merta melakukan kekerasan pada para pekerja, karena mereka tahu bagaimanapun mereka adalah pekerja biasa yang melakukan pekerjaannya.
Yang paling penting dari film ini, sekali lagi, adalah perspektif dalam melihat rencana besar yang sekarang sedang bergerak dalam percepatan yang senyap. Jika memang pembukaan lahan akan berlangsung dalam skala dan kecepatan seperti yang diharapkan Jokowi, maka sangat masuk akal jika Menko Polhukam, Luhut beberapa waktu memakai analogi ‘libas seperti di Papua’ bagi para ‘pembuat gaduh’ mengingat sangat tidak mungkin tidak melibatkan tentara dalam situasi yang sarat dengan konflik seperti di film ini. Di sinilah nampaknya program ‘Tentara Adalah Teman Petani’ yang belakangan di gembar-gemborkan di setiap Kodam/Kodim menemukan relevansinya, pasca Jokowi menugaskan militer, terutama petugas Babinsa di kampung-kampung, untuk ‘terlibat dalam produksi pangan’.
Pemutaran film ini kemarin berlangsung pada saat yang sama ketika kejahatan korporasi sawit membakar lahan menghasilkan dampak asap yang katastrofik di Sumatera dan Kalimantan. Pada saat diskusi berlangsung setelah film usai, seorang peserta memaparkan bagaimana bencana asap yang sebelumnya tak pernah terjadi di Papua, kini mulai hadir. Titik-titik api mulai bermunculan seiring dengan pembukaan lahan sawit secara masif di sana sebagai bagian dari MIFEE. Hingga hari ini, tercatat sebanyak 11 grup perusahaan sawit yang beroperasi di Papua di atas total lahan seluas 415.094 hektar. Dari total luas Kabupaten Merauke yang hanya 4.5 juta hektar, lebih dari 55 persen telah diserahkan pemerintah kepada korporasi-korporasi perkebunan.
***
Rekan saya tadi adalah pendukung Jokowi dan cukup aktif ikut sebagai relawan di tingkat lokal kota saat Jokowi berhadapan dengan Prabowo pada Pemilu Nasional tahun lalu. Ia sering mendebat kencang perihal keputusan banyak kawan untuk tetap tidak berpartisipasi masuk kotak suara (dan memilih Jokowi tentunya). Sesuatu yang kala itu ‘umum’, karena selama kampanye pilpres ada harapan untuk perubahan, dapat dilihat dari banyaknya relawan Jokowi berasal dari gerakan sosial yang berjuang untuk menolak MP3EI sebelumnya.
Saya cukup ingat saat ia hadir pula di satu diskusi yang mengupas potensi malapetaka yang telah dan akan hadir akibat dampak program MP3EI milik rezim SBY. Dengan keyakinan penuh (dan setengah berkampanye) Ia berujar bahwa program seburuk MP3EI tidak akan diteruskan di bawah kepemimpinan Jokowi-JK.
Film ini secara tidak langsung membuktikan bahwa ia keliru dan berekspektasi lebih. Tidak ada yang berubah di bawah RPJMN. Agenda ini memiliki semangat yang sama dengan MP3EI di era Hatta Rajasa. Semangat memproduksi ruang kapital baru di mana segala sesuatunya diperuntukkan bagi keberlangsungan akumulasi kapital tahap lanjut, di bawah narasi besar ‘Pembangunan’ yang sedang banyak dikerjakan di gugusan kepulauan Indonesia pasca reformasi. Termasuk manusia dan ekologi, diperhitungkan dan ditata ulang sebatas mengacu kepada kepentingan pertumbuhan kapital.
Di bawah sistem eksploitatif dan menindas seperti hari ini, perubahan sosial tak akan datang dari para pemimpin. Sebaliknya, perlawanan yang paling nyata hanya lahir dari gerakan akar rumput. Hari ini krisis semakin menyebar di mana-mana seiring dengan pembangunan mega-infrastruktur di seantero nusantara. Waktunya mengabarkan bahwa perlawanan pula ada di mana-mana.
Di bawah penindasan yang sama, para Mahuze tidak sendiran. Mereka memiliki kesamaan dengan warga Sukabumi dan Rembang yang menolak pabrik semen, para warga yang menolak pembebasan lahan di sepanjang pembangunan tol lintas Jawa, warga Kulon Progo dan Lumajang yang menolak tambang pasir besi, Temon yang menolak bandara, Jatigede yang bertahan di hadapan pengairan waduk, di Batang yang menolak PLTU, di Benoa yang melawan reklamasi, di Urutsewu yang mati-matian mempertahankan tanahnya dijadikan tambang dan area latihan tentara, warga Morowali dan Bangka yang tak menyerah di hadapan tambang nikel dan biji besi, di Moromoro yang mempertahankan ruang hidupnya digusur pemegang konsesi hak pengelolaan hutan, dan tempat-tempat lain dimana warganya menolak ruang hidupnya dijadikan sekedar sarana bagi pembesaran akumulasi kapital. Waktunya memperluas jejaring perlawanan. Klik ini ya..unutk nonton videonya. Video Miffe
2. MIFEE dan Ancaman Eksistensial Masyakarat Papua
Belakangan ini, permasalahan hak atas tanah menjadi diskursus sosial yang cukup kompleks. Persoalan lahan kerap menimpa komunitas masyarakat di tingkat akar rumput (grassroots).
Ketika berbicara soal hak kepemilikan tanah/lahan masyarakat, paradigma yang digunakan perlu didasarkan pada cara pandang moral. Sebab, selama ini konteks kepemilikan lahan masyarakat dipandang sebelah mata. Sehingga kemudian menimbulkan kealpaan negara membela hak sosial masyarakat.
Titik sentral pembahasan tidak hanya berkutat soal bagaimana fungsi dan kegunaannya, namun lebih dari itu, bagaimana cara mempertahankan hak lahan sebagai warisan identitas masyarakat.
Menurut Van Vollenhoven, dalam bukunya De Indonesier en zijn Grond (orang Indonessia dan tanahnya), hak milik adalah suatu hak eigendom timur (Ooster eigendomsrecht), suatu hak kebendaan (zakelijk rech) yang mempunyai wewenang untuk; (a) Mempergunakan atau menikmati benda itu dengan batas dan sepenuh-penuhnya, (b) Menguasai benda itu seluas-luasnya. (Van Vollenhoven, 1926: 92).
Apabila dikaitkan dengan tesis Van Vollenhoven, kenyataan yang terjadi saat ini justru bertolak belakang dengan penghormatan terhadap kebendaan (tanah) masyarakat.
Kembali pada pokok permasalahan, dinamika kekerasan dan perampasan lahan lazim terjadi. Gambaran konkretnya dapat dilihat ketika hak masyarakat secara serampangan dilanggar. Tanah yang sebelumnya memiliki fungsi sosial telah berubah menjadi benda ekslusif (objek kepentingan). Siapa punya modal akan menguasainya.
Pada dasarnya, Konstitusi menjamin hak tanah dan hutan sebagai media kolektif. Namun pada realitanya, terjadi pengkaplingan dan dikotomi dalam konteks penguasaan oleh kelompok berlabel kapitalis. Secara singkat, hegemoni kelas menjadi alat (tools) dan media sistematis menjarah tanah masyarakat.
MIFEE: Ancaman bagi Pola Konsumsi Orang Papua
Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) merupakan salah satu program pangan dan energi yang diusung pada era kepemimpinan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2008. Namun, sempat mengalami penundaan dan baru resmi bergulir pada tahun 2010. MIFEE merupakan salah satu strategi pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan dan energi nasional.
Program ini sejalan dengan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019, dimana Papua dipandang sebagai kawasan strategis dan memiliki sumberdaya alam potensial dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Namun demikian, proyek MIFEE yang diproyeksi menyerap lahan seluas 1,2 juta hektar ini, dipandang sebagai salah satu terobosan keliru. Alasan pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan justru bertolak belakang dengan kebiasan hidup masyarakat Papua.
Kondisi ini diperkuat dengan fakta bahwa pada dasarnya, konsumsi masyarakat Papua di Merauke adalah sagu (makanan pokok masyarakat Papua). Kehadiran MIFEE, dengan format transformasi lahan, berpotensi mengancam keberadaan hutan yang selama ini berfungsi sebagai habitat tanaman sagu. Singkatnya, degradasi kawasan hutan akan mengubah pola konsumsi masyarakat Papua.
Studi konkret yang terjadi di Papua adalah pengaruh ancaman MIFEE terhadap eksistensi Suku Malind (masyarakat asli Merauke, Papua) yang kini tengah mengalami dilema akibat kehilangan habitat meramu sagu. Bagi suku Malind, sagu bukan sekedar bahan konsumsi, namun sebagai warisan budaya lintas generasi.
Ekspansi MIFEE yang secara drastis mengubah lahan hutan dapat membentuk siklus kelangkaan pangan dan krisis identitas masyarakat Papua. Pola transformasi, dari wilayah hutan menjadi lahan pangan, dikhawatirkan dapat memicu terjadinya pergeseran nilai dan pola konsumsi masyarakat Papua.
Pola eksploitatif yang ditimbulkan MIFEE, membawa ancaman dan konsekuensi perubahan struktur komoditas pangan. Konsekuensi dari kejadian ini secara perlahan mengikis relasi “ke-intim-an” masyarakat Papua dengan budayanya.
Dari beberapa uraian konkret, kehadiran MIFEE merupakan sebuah potret kekerasan budaya karena secara eksplisit mendegradasi “lahan hidup” masyarakat Papua. Disebut “lahan hidup”, karena lahan sagu dimodifikasi secara paksa oleh pemerintah. Sementara, pada kenyataannya, komoditas sagu tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan hidup masyarakat Papua. Ada ikatan historis yang begitu kuat sehingga sagu sebagai warisan dan ciri khas konsumsi Orang Asli Papua. Ketika, keberadaannya tidak dapat dinikmati atau diakses oleh masyarakat, maka berpotensi melahirkan gejala pergeseran budaya. Kondisi ini sekaligus menjadi media sistematis merusak kolektivitas budaya Papua.
MIFEE: Kekerasan Gaya Baru
Selain ancaman sosial dan budaya, proyek MIFEE yang diproyeksikan sebagai lumbung pangan di kawasan Papua juga dikhawatirkan dapat menciptakan pola kekerasan baru bagi masyarakat Papua serta berkembangnya bahaya kapitalisme melalui jaring korporasi.
Poin kritis dari bentuk kekerasan adalah lahirnya implikasi transformasi lahan secara paksa. Artinya, masyarakat tidak bersedia ketika hutan mereka diubah. Fenomena ini kemudian melahirkan gangguan (disparitas) dalam struktur sosial.
Masyarakat tidak dapat bertindak ketika melihat hutan mereka digusur. Kerena, ketika ada perlawanan, maka perjalalanan MIFEE semakin diwarnai kekerasan dan intimidasi. MIFEE akan memperlebar konflik dan menebar teror bagi lahirnya kekerasan dalam habitus sosial masyarakat.
Selama ini, masyarakat sebagai kelas minoritas hanya menerima resiko ancaman dan hak-haknya dikerdilkan secara tidak manusiawi. Pembiaran oleh negara semakin telah membuka ruang kekerasan baru dalam lapisan sosial (social layers).
Pada dasarnya, pendekatan kebijakan dan prinsip humanis mesti sejalan agar menghindari tindakan kekerasan. Sebab, pada semua tingkat pemahaman, kekerasan merupakan musuh bersama (common enemy). Kehadirannya tidak dibenarkan karena sebagai stigma pelanggaran HAM.
Sumber:
Gutterspit
Suara Papua
Posting Komentar