Foto jubi |
Papua Ujung Panah - Semakin banyaknya orang dari luar Papua yang datang ke Wamena dan berprofesi sebagai tukang ojek membuat para tukang ojek masyarakat asli di Jayawijaya dan sekitarnya merasa tersisihkan.
Hal ini diakui Yos Yogobi yang mewakili tukang ojek orang asli daerah saat menggelar jumpa pers di Rumah Bina Wamena, Jayawijaya, Selasa (18/10/2016).
Menurut Yos Yogobi, saat ini jumlah pengendara sepeda motor, khususnya ojek, semakin meningkat di Jayawijaya. Penambahan jumlah pengendara ojek tersebut sebagian besar karena kehadiran masyarakat dari luar Papua yang bekerja sebagai tukang ojek, sehingga ojek orang asli Papua berjumlah lebih sedikit.
“Akibatnya ojek-ojek orang asli daerah mengalami penyusutan penghasilan setiap harinya, jika dulu bisa mencapai 300 ribu rupiah per hari saat ini hanya 70 ribu rupiah per hari,” ungkapnya.
Yos menambahkan, pada tahun 2013 lalu DPRD Jayawijaya sudah mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) tentang pengendalian ojek di Jayawijaya, sebagai tindakan afirmatif agar masyarakat asli Papua mampu meningkatkan kualitas hidupnya.
Hal ini juga sesuai dengan amanat undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
“Tetapi dalam kenyataannya Perda tersebut dilanggar dengan semakin banyaknya warga non Papua yang menjadi tukang ojek. Kehadiran ojek transmigran ini menyebabkan kami semakin sulit mendapatkan penghasilan,” ungkapnya.
Pihaknya menuntut DPRD Kabupaten Jayawijaya dan juga Pemerintah Kabupaten Jayawijaya agar bersikap tegas dan melaksanakan perintah UU dan perda tersebut, khususnya terkait jumlah ojek dengan proporsi 75 persen ojek asli Papua dan 25 persen ojek non Papua.
“Dinas Perhubungan juga segera melakukan pendataan kembali tukang ojek yang beroperasi di Wamena serta melakukan update setiap bulannya. Pemerintah juga mesti membatasi jumlah transmigran yang datang ke Papua khususnya di Jayawijaya yang datang untuk bekerja sebagai tukang ojek, karena pekerjaan ini bisa dilakukan oleh orang asli daerah,” tegasnya.(*)
Posting Komentar