prefix='og: https://ogp.me/ns# fb: https://graph.facebook.com/schema/og/ article: https://graph.facebook.com/schema/og/article'> CATATAN MENJELANG PERTEMUAN PIF DAN DUKUNGAN KEMBALI KE RESOLUSI PBB - West Papua Ujung Panah

CATATAN MENJELANG PERTEMUAN PIF DAN DUKUNGAN KEMBALI KE RESOLUSI PBB

Ilustrasi gambar dari Internet Bendera Bintang Kejora 

Dalam satu bulan terakhir,ada dua berita yang membuat orang Papua tersenyum. (1) Pernyataan Perdana Menteri (PM) Papua Nugini Peter O’Neil dalam dalam kuliah umum tentang "Regionalisme Pasifik" di University of South Pacific, Fiji, Senin (9 Juli 2018 ini, menyampaikan bahwa isu West Papua adalah isu yang sensitif untuk PNG, namun ia mendorong isu West Papua ini dibawa ke komite dekolonisasi PBB.(2) Ralph Regenvanu dalam pertemuan Komite Pejabat Forum Kepulauan Pasifik (FOC) dan Forum Pertemuan Menteri Luar Negeri yang diselenggarakan di Taumeasina Resort di Apia, Samoa dari tanggal 7 hingga 10 Agustus 2018, Vanuatu Menyajikan Rancangan Resolusi PBB untuk West Papua ke PIF dan selanjutnya ke Komite 24 Dekolonisasi PBB. (3) Sabtu 21 Agustus 2018, Lora Lini, ditunjuk menjadi Utusan Khusus West Papua di Pasifik, untuk mendorong lagi isu West Papua dan melobi dukungan dari para Pemimpin Pasifik pada Pertemuan Tingkat Tinggi Para Pemimpin di Nauru awal September 2018 nanti. Melihat apa yang dilakukan Vanuatu sebagai negara sesama Ras malanesia ini,dapat kami sampaikan bahwa,perjuangan Papua Merdeka mulai kembali ke rel Sejarah bangsa – Bangsa Melanesia itu sendiri.

Tahun 1942, muncul keyakinan dari semua bangsa manusia di dunia bahwa Kemerdekaan itu hak segala bangsa, anugerah Tuhan dan bangsa lain tidak bisa menentukan masa depan bangsa lain, sehingga m2 (dua) keyakinan ini juga menguat didalam pikiran orang Niew Guinea Barat Pasca Perang Pasific, setelah Amerika dengan Block Barat memenangkan Perang melawan Jepang 1942.
Keyakinan orang Niew Guinea Barat ini semakin kokoh dalam hati dan pikiran setelah pimpinan perang Pasific Jend.Douglas McArthur pidato di Ifar Gunung Sentani Jayapura dimana dalam pidatonya, dia berjanji untuk memberikan rekontruksi dan memberikan jasa perang kepada daerah yang telah membantu Sekutu memenangkan perang dimaksud.

Paska pidato ini, tahun 1947 di Australia (Selatan Pulau Niew Guinea); Jerman, Amerika, Inggeris, Belanda, Australia, Selandia Baru dan Perancis melakukan sebuah pertemuan di Kota Canberra sehingga melahirkan sebuah perjanjian yang bernama “Canberra Agreement 1947”. Dimana negara - negara sekutu yang baru menangkan perang tersebut berjanji untuk menjalankan kewajiban – kewajiban mereka untuk membantu wilayah atau daerah yang telah mereka gunakan selama masa perang pasific berlangsung, sehingga terbentuklah“South Pasific Commisin” (SPC) atau Komisi Pasific Selatan yang mewajib kan para tokoh dan pimpinan adat agar di libatkan dalam forum - forum yang akan di lakukan untuk mempersiapkan proses rekontruksi perang dan Pemerdekaan, sehingga orang Niew Guinea Barat menyertakan beberapa perwakilan dalam pertemuan di pacific ini mulai tahun 1950 di Kota Suva, Fiji, tahun 1953 di Kota Noumea Kaledonia Baru, tahun 1956 di Suva Fiji, tahun 1959 di Rabaul, Papua New Guinea, tahun 1962 di Pago-pago Ibukota Samoa Timur.

Awal-nya,dengan Cambera Agreement ini, orang Niew Guinea Barat karena “dianggap” belum siap untuk merdeka maka, daerah ini di serakan kembali kepada Belanda tahun 1947, dengan tujuan agar Belanda menjalankan seluruh Kewajiban yang lahir dari perang Pasific sambil menunggu proses Pemerdekaan, sehingga mereka di minta untuk membangun pendidikan dalam rangka mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM), Kesehatan dan peningkatan Ekonomi orang Niew Guinea Barat.

Untuk mempermudah agar kewajiban mengenai peningkatan Pendidikan atau SDM serta Kesehatan dan Ekonomi tersebut berjalan baik,ditahun yang sama, Belanda jadikan pulau Niew Guinea Barat sebagai Propinsi dari Kerajaan Belanda, dan dalam sengketa antara Belanda - Indonesia dalam KMB (Komferensi Meja Bundar), karena tidak membuahkan kesepakatan, sehingga tahun 1950 Niew Guinea Barat di masukan Belanda sebagai daerah tanpa pemerintahan melalui daftar dekolonisasi sesuai Pasal 73 e Konvensi PBB, dan tahun 1952 Belanda menjadikan Niew Guinea Barat sebagai Propinsi dari Kerajaan Belanda dengan mengganti nama Niew Guinea Barat menjadi Netherland Niew Guinea dengan ibu Kota Holandia dan perlakukan mata uang sendiri yang bernama, “Goulden Niew Guinea”.

Dalam berbagai pertemuan untuk memperebutkan pulau ini, orang Belanda - orang Indonesia,sama sekali tidak memperhatikan keinginan kami orang Niew Guinea Barat sebagai pemilik tanah Neuw Guinea, sehingga kami sama sekali tidak pernah diajak untuk menentukan masa depan hidup bangsa kami.

Dengan melihat saling klaim antara Indonesia - Belanda di berbagai pertemuan, Forum dan konferensi serta kewajiban yang telah lahir dari perang Pasific, tanggal 3 Juli 1949 pasca KMB, orang Niew Guinea Barat mengeluarkan 3 (tiga) buah “Mosi”, dan mengirim sebanyak 4 (empat) buah “telegram”dengan menyepakati sebuah “Keputusan” kepada yang mulia Ratu Juliana di Negeri Belanda maupun Indonesia yang dimana dalam Mosi yang lahir dari isi hati orang Niew Guinea Barat ini untuk menentukan masa depan bangsa mereka sendiri, yang aspirasinya tidak terlepas dari;“Hak Bangsa Papua Untuk Merdeka”, sesuai Konvensi PBB dan kewajiban dari Cammbera Agreement 1947 dan aspirasi dari Sout Pasific Forum yang di prakarsai oleh South Pasific Commision 1947.
Dengan semangat; bangsa Papua mempunyai Hak untuk Merdeka, Canberra Agreement, dan Keputusan South Pasific Commision (SPC) melalui Forum- Forum yang dilaksanakan, melalui Mosi ini, orang Papua memintah agar; (1) Niuw Guinea Barat harus tetap berada dibawah Makota Kerajaan Belanda sesuai keputusan Canberra Agreement 1947, maupun Keputusan South Pasific Commision. (2) Menolak klaim Indonesia atas Nieuw Guinea Barat dengan alasan orang Papua berbeda secara Etnografi, Geografi dan Sejarah. (3);

 Memintah agar Belanda kembali menjalankan kewajiban (Ingat bukan Hak) yaitu rehabilitasi pasca perang pasific sesuai janji dalam Pidato pimpinan Sekutu Jend. Douglas McArthur di Ifar gunung Sentani Jayapura. Dimana sesuai pidato ini, Jend. Douglas McArthur mengatakan; daerah - daerah yang telah menolong sekutu dalam memenangkan Perang Pasific, akan di bantu sehingga di Australia ditanda -tangani “Cammbera Agreement 1947”,dan diikuti dengan terbentuk- nya “South Pacific Commision” (SPC) atau Komisi Pasific Selatan sebagai lembaga yang mempercepat Pembangunan dan Pemerdekaan paska perang dunia ke II.

Tuntutan orang Niew Guinea Barat ini, tidak berhenti sampai disini, karena tanggal 29 Agustus 1949, 300 orang Pekerja Pelabuhan di Holandia Basis meminta kepada Sri Ratu Juliana di negeri Belanda agar Niuw Guinea tetap bernaung dibawah Makota Ratu Belanda, disusul aksi tanggal 9 Sebtember 1949, dimana Kepala adat dan wakil - wakil rakyat dari Onderafdeling Holandia mengirim telegram (Kawat) kepada Ratu Juliana, Perdana Menteri Belanda Dr.Dress, Ketua Delegasi Belanda di KMB, Mr.Van Marseven, Ketua KMB, Ketua Bijeenkomst Voor Federal Overleg (BFO),Badan Musyawarah negara Federal, Ketua Delegasi Republik, United Nations Commisions for Indonesia (UNCI), Presiden Soekarno, dan Presiden Sukawati dari Negara Indonesia timur (NIT) agar dalam keputusan KMB, Niuw Guinea harus tetap bernaung dibawah Makota Belanda.

Kemudian tanggal 10 Sebtember 1949, penduduk Aseii Besar dan Aseii Kecil memajukan sebuah Mosi memohon kepada Ratu Juliana agar Niuw Guinea harus tetap bernaung dibawah Makota Belanda, di ikuti dengan Mosi tanggal 11 Sebtember 1949 oleh 800 penduduk Kampung Ayapo di Sentani Holandia memohon kepada Ratu Juliana agar Pemerintah Belanda tetap tinggal di Niuw Guinea dengan alasan Pemerintah Belanda masih mempunyai Kewajiban - Kewajiban terhadap Niuw Guinea Barat.

Karena tuntutan Mereka belum juga di jawab maka, pada tanggal 14 Sebtember 1949, kepala - kepala adat dan wakil - Wakil Rakyat Holandia mengirim kembali sebuah telegram kepada Ratu Juliana, UNO, UNCI, kepada Perdana Menteri Dress, dan Ketua Dekegasi Indonesia di KMB, sekaligus membantah pernyataan Indonesia yang mengatakan Niuw Guinea adalah bagian dari Indonesia, dan empat hari dari itu, Kepala - kepala adat dan Wakil rakyat daerah Holandia dan tanggal 18 Sebtember 1949 kembali mengirim Telegram kepada Ratu Juliana, United Nation Oraganitation (UNO), UNCI, Perdana Menteri Belanda Dr.Dress dan Ketua Delegasi Belanda dan Indonesia di KMB dengan memintah agar keterangan Republik dan B.F.O dalam KMB yang mengatakan Niuw Guinea secara Etinologi dan Ilmu Bumi adalah Indonesia “Dibantah” dan disusul dengan 63 orang Kepala - Kepala Adat dan wakil - Wakil Rakyat Nimboran Holandia mengirim sebuah Mosi kepada Ratu Juliana mengenai keinginan rakyat Papua agar Niuw Guinea tetap bernaung dibawah Makota Kerajaan Belanda, dengan alasan Belanda harus memenuhi kewajiban – kewajiban - nya. Selain Mosi penolakan dan hak Merdeka, untuk menguatkan semua Mosi diatas, pada tanggal 24 April 1950, bangsa-bangsa Polinesia dan Malanesia mengeluarkan sebuah keterangan dalam Konferensi Pasific Selatan di Fiji mengenai persamaan Nasib untuk Merdeka.

Berdasarkan tuntutan orang Papua dan tuntutan Bangsa Polinesia, dan Melanesia diatas, pada bulan Desember tahun 1950 melalui keputusan PBB, Papua atau Pulau Niuw Guinea Bagian Barat dimasukan kembali sebagai daerah tanpa pemerintahaan dan di daftarkan dalam daftar Dekolonisasi sesuai pasal 73 e Konvensi PBB.

Indonesia walau telah di tolak oleh orang Niew Guinea Barat melalui berbagai kesempatan, mereka terus mengklaim bahwa Papua Bagian Barat sebagai daerah mereka, sehingga Belanda mengundang Indonesia untuk membicarakan hal itu di Mahkamah Internasional (MI) agar menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak hadir tanpa keterangan, sehingga Belanda mempercepat kewajibannya sesuai Cammbera Agreement 1947 dengan cara mempercepat program pendidikan untuk persiapan pemerdekaan dengan cara membuka beberapa sekolah dan beberapa rumah sakit serta jalan penghubung, namun kemerdekaan yang diharapkan orang Papua Barat hingga hari ini belum juga didapatkan karena masih terus di halangi oleh Bangsa Penjajah.

Walau sejak 1950 Niew Guinea Barat sudah masuk dalam daftar Decolonisasi, daerah tanpa pemerintahan sesuai Pasal 73 e Konvensi PBB sebagai hasil dari Camberra Agreement dan Mosi yang di sampaikan oleh orang Niew Guinea Barat, hingga tahun 1956, PBB belum juga mau menjalankan kewajiban mereka, dengan cara; memintah pendapat langsung dari orang Niew Guinea Barat untuk mencarikan solusi mewujudkan tuntutan independent mereka, namun PPB lebih cenderung memberi waktu dan kesempatan kepada Indonesia dan Belanda yang melakukan saling klaim mengenai pulau Niew Guinea Barat.

Sementara PBB disibukan dengan masalah klaim antara Indonesia - Belanda mengenai Niew Guinea Barat, tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melapor kan penemuan emas dan Tembaga oleh pemerintah Belanda di dekat Laut Arafura yang deposit - nya dapat bertahan hingga 100 tahun ke depan, sehingga Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang Emas dan Tembaga di Timika, dan dalam situasi itu PKI menguat di Indonesia, sehingga kedua isu ini menarik perhatian Amerika untuk melakukan intervensi dalam menyelesaikan kasus perebutan pulau Niew Guinea Barat antara Belanda- Indonesia.

Intervensi Amerika dalam menangani perebutan Pulau Niew Guinea antara indonesia dan Belanda ini semakin penting karena; (1) Soekarno memperbesar Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan cara berhubungan dengan Saigon, China dan Uni Sovyet, (2) membeli senjata untuk dilakukan perang terbuka dengan Belanda untuk merebut Pulau Niew Guinea Barat, (3) Indonesia di bawah keluar dari PBB, (4) Melakukan Nasionalisasi Perusahan Belanda di Indonesia, (5) Mendirikan Gedung Gelora Bung Karno untuk melaksanakan GANEFO untuk menandingi Olimpiade, (6) Membuat Monumen Nasional (MONAS) di Lapangan Ikada untuk menarik perhatian Dunia, membuat Mesjid Raya Istiqlal di sebelah gereja Katholik Katedral Jakarta untuk menarik perhatian negara – negara beragama Katolik dan Paus di Roma, (7) Membuat Konferensi Asia Afrika (KAA) mencari dukungan untuk merebut pulau Nieuw Guinea Barat dari negara - negara berkulit hitam Afrika.

Dalam perang dingin antara Block Barat - Block Timur, Amerika melihat partai komunis semakin berkuasa di Indonesia, dengan takut Indonesia menjadi negara Komunis, Amerika menekan Belanda dan menawarkan jasa membantu menyelesaikan sengketa antara Belanda - Indonesia dalam perebutan pulau Niew Guinea Barat kepada PBB melalui Sekjen PBB yang baru saja diganti mereka yaitu U Than asal Srilangka, paska matinya Sekjen PBB II ”Dag Hammarskjold” di Kongo Afrika Barat karena jatuh dengan pesawat.

Setelah Amerika di setujui oleh Sekjen PBB U Than untuk menangani Konflik antara Indonesia - Belanda atas Niew Guinea Barat, Presiden Amerika Serikat Jhon F Kenedy mengangkat Bungker yang pernah menjabat Duta Besar di India dan Ketua Palang Merah Amerika Serikat untuk menyediakan proposal usulan yang di kenal dengan usulan Bungker. Kemudian, Amerika mengutus Robert Kenedy yaitu Jaksa Agung Amerika (adik dari Presiden Amerika Jhon F Kenedy), ke Indonesia, menekan Belanda agar tidak melakukan perang terbuka, dengan Amerika berjanji tidak akan membantu Belanda dalam perang tersebut, hingga pada tanggal 15 Agustus 1962, atas tekanan Amerika, Belanda menanda tangani perjanjian yang disiapkan Amerika melalui Bungker menjadi New York Agreement, walau pelaksanaan perjanjian ini tidak sesuai pasal yang di sepakti, Belanda melepaskan pulau Niew Guinea bagian barat dengan segala kewajibanya kepada Indonesia, sehingga secara Admitratif Indonesia mulai berkuasa di Niew Guinea Barat tanggal 1 Mei 1963.

Melihat proses penyerahan Niew Guinea Barat dari Belanda kepada Indonesia dengan mengabaikan segala kewajiban yang diberikan melalui Konvensi PBB dan Cammbera Agreement 1947 ini maka mulai saat itu orang Niew Guinea Barat melakukan perlawanan karena terjadi bukan atas kehendak Mereka yang ingin Merdeka, namun penyerahaan ini dilihat orang Niew Guinea Barat sebagai penyerahan dari tangan penjajah ke penjajah baru.

Indonesia bisa kami sebut sebagai penjajah baru yang lebih brutal karena; karena menjelang pelaksaanan Pepera 1969, dengan bebas di depan mata UNTEA dan PBB melakukan operasi – operasi Militer yaitu menangkap orang Irian Barat, Culik, Teror, intimidasi dan Membunuh semua yang melakukan protes atas kecurangan yang menjadi harapan dari isi hati Mereka , sehingga saat Pepera 1969 dilaksanakan, orang Niew Guinea Barat ada di bawah tekanan mental karena ketakutan dan tidak berdaya, sehingga sebagai protes tertutup mereka berjuang untuk mempertahankan hak Kemerdekaan Mereka

Gerakan perlawanan dibawah tanah ini sebenarnya pengembangan dari organisasi yang lahir di masa Belanda dan mereka telah dilarang oleh UNTEA sehingga telah di bubarkan kegiatannya kecuali Organisasi Papua Merdeka, dengan tekad menyetakan Mereka tidak akan bubar dengan alasan; ”Kami Pemilik Pulau Neuw Guinea dan Kami adalah Tuan Tanah atas Negeri Kami Sendiri sehingga Kami tidak akan tunduk pada penguasa dan Penjajah manapun. Dengan Ikrar, “Bangsa lain tidak bisa menentukan masa depan bangsa lain”, dan bergerak juga secara rahasia.

OPM awalnya masih hanya bersifat solidaritas perlawanan untuk mempertahankan hak Merdeka hingga tanggal 31 Juli 1977, baru OPM lahir secara resmi dengan nama baru tetapi tujuan sama yakni “Free Papua Movement” sebagai organisasi induk dari semua perjuangan kemerdekaan Papua Barat sehingga programnya disahkan menjadi program perjuangan seluruh bangsa Papua.

Nama OPM terkenal karena saat itu setelah semua lembaga pergerakan di nyatakan dilarang oleh Indonesia dan UNTEA sehingga ada yang bubar, dan ada yang bersembunyi, OPM masih terus melakukan perlawanan terbuka sehingga semua perlawanan yang lakukan oleh orang Papua pada umumnya dipakai oleh Pemerintah Indonesia sebagai Stingma terhadap kekerasan yang dilakukan orang Papua.

Semua organisasi yang di sebutkan diatas sepertinya yakin bahwa; New York Agreement 1962 akan di laksanakan menurut huruf, jiwa dan semangat perjanjian tersebut, tetapi setelah melihat tindak - tanduk Pemerintah Indonesia yang sudah menyimpang jauh dari perjanjian tersebut, orang Papua mulai curiga dan kembali melakukan perlawanan dengan bergabung pada OPM.

Perjuangan OPM hingga hari ini melanjutkan tuntutan orang Papua yang tidak tunduk kepada bangsa penjajah, kami menuntut Hak Merdeka sebagaimana yang dilakukan oleh Organisasi Pembebasan Papua Merdeka (OPPM) di Manokwari, yang pada tanggal 28 Juli 1965, mereka bangkit berperang melawan tentara Indonesia, dibawah pimpinan Ferry Permenas Awom. OPM juga berdiri untuk melanjutkan perjuangan yang dilakukan oleh orang Papua yang menolak PEPERA 1969, sebagaimana yang terjadi di daerah Wissel Meeren Paniai, yang dipimpin oleh Karel Gobay, di depan PBB dan UNTEA sehingga pelaksanaan PEPERA tidak terlaksana di sana dan dipindahkan sehingga tertunda 6 bulan. OPM juga tidak mengakui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dan mengakuinya bahwa; “itu tidak pernah ada dan terjadi”. Yang ada, ialah Penolakan Pendapat Rakyat atau “Act of No Choice”. Walaupun Pemerintah Belanda mendukung Resolusi pada Sidang Umum PBB ke 24 Acara Agenda No. 98 dokumen; A/L,12 November 1969. OPM juga tidak mengakui resolusi Majelis Umum PBB,“No.1752 (XVII) tertanggal 21 September 1962, Karena Kemerdekaan itu Hak Orang Papua, OPM juga tidak mengakui “Rencana Resolusi yang telah diterima tanpa perubahan apapun oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 19 November 1969.

Peralihan Kekuasaan telah berjalan tidak sesuai dengan persetujuan, karena telah mengorbankan Hak orang Niew Guinea Barat untuk Merdeka akibat terdapat banyak kelemahan dimana term mengenai “PLEBISCITE” tidak dilakukan sesuai mekanisme pemilihan yang dipakai dalam “International Practice” dan mengalihkan pemilihan menurut “Indonesia Practice” yang sudah jelas melanggar pasal XVIII dan Pasal XXII persetujuan New York Agreement tersebut.

Dalih bahwa New York Agreement1962, dilakukan menurut Praktik Indonesia karena rakyat West Papua masih bodoh dan belum ada kesadaran politik untuk memilih dengan bebas secara “One Man One Vote”, kadang dipercaya dunia, padahal dua tahun kemudian dari Pepera 1969, dalam Pemilihan Umum (PEMILU) tahun 1971, rakyat Papua Barat ikut memilih dengan bebas dan rahasia dengan satu orang satu Suara, demikian juga pada tahun 1977 dan seteruasnya setiap lima tahun. Bahkan Dunia kadang Percaya dengan propaganda Indonesia dengan Perjuangan yang dilakukan orang Niew Guinea Barat karena Indonesia melukiskan perlawanan yang dilakukan tersebut sebagai suatu frutrasi dari para pemimpin Papua, dengan men-cap semua perjuangan rakyat ini sebagai gerakan pengacau liar (GPL) atau sepratis, Tidak beda dengan masa revolusi di pulau Jawa dahulu, Belanda memberikan cap kepada revolusioner Indonesia sebagai“Gerombolan Extremis”. Para pakar politik berpendapat, penghindaran terhadap parktek Internasional yaitu “One Man One Vote” ke Indonesia Parktic sebenarnya konspirasi karena tidak mungkin Indonesia melaksanakanya sendiri parte tersbut, sehingga New Yorka Agreement adalah, Konspirasi kejahatan yang dilakukan untuk menghilangkan Hak Kemerdekaan Orang Niew Guinea Barat.

Dua bulan dimuka pelaksanaan apa yang disebut Act of Free Choice alias Pepera. Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik dan Menteri Luar Negeri Belanda, J. Luns mengadakan pertemuan di Roma-Italia dari tanggal 20-21 Mei 1969. Pertemuan ini masih rahasia hingga hari ini tetapi menurut desas-desus, ada semacam “Roma Agreement” entah tertulis atau secara ‘’Gentlement Agreement’’, yang ada hubungannya dengan pelaksanaan Act of Free Choice di Irian Barat (West Papua) tahun itu.

New York Agreement antara Indonesia - Belanda murni konspirasi karena, pada bulan Juni 1969 setelah pertemuan Roma, mengunjungi Indonesia, Menteri Luar Negeri Belanda J.Luns di Jakaerta dalam sebuah pertemuan dengan pejabat Indonesia, mengatakan “pelaksanaan Ac of Free-Choice di Irian Barat bulan Juli dan Agustus nanti, tidak akan mengganggu hubungan baik antara kedua negara, dan sikap ini menunjukan, Belanda tidak mau ambil pusing. Lebih keras lagi dari Menteri Luar Negeri J.Luns, ucapkan yang berupa ketegasan dari pihak Belanda, dimuka Parlement tanggal 15 Oktober 1969 dengan berkata : “The result of that ascertaiment of the people is known and cannot, once again I would like to underline this emphatically, be declared null andvoid. Neitherlands can it be repected”. Jelaslah sudah bahwa suatu sikap menolakan cara pelaksanaan itu dari pada Belanda, akan berarti membuka kembali bertentangan- pertentangan baru antara kedua negara, jadi biarlah zijn blood voor onze brood ! “darah mereka adalah untuk roti kami”!

Essay oleh Pakage Beni

Stay Connected

Copyright © West Papua Ujung Panah. Designed by OddThemes